Traditional cultivation of shallot is subject to uncertainty both in productivity and price. This seasonal situation was primarily due to climatic factors. Hydroponics cultivation offers a potential solution to that problem because hydroponics was not dependant to climate. Therefore, production can be maintained throughout a year around. This research aims to design hydroponics system for shallot cultivation, to simulate cost analysis, and to estimate profit. The research was conducted by constructing a hydroponics module with dimension as the following 100 cm high, 3 m long and 60 cm wide. Growth medium made from rice hush char as deep as 15 cm was used in the module. 114 cloves of shallot were nursed, and transplanted to the bed after shoots developed about 5 cm, with 10x15 cm spacing. Parameters observed in this study included pH, EC, moisture content, and plant growth. In addition, three scenarios of the hydroponics systems were simulated to elaborate cost and profit estimation. The three scenarios included scaling up the cultivation beds, ten year cultivation, and productivity from three types of hydroponics modules. The results showed that during hydroponics cultivation of shallot, EC of nutrient solution was elevated to the last level of 3106 μS/cm, while pH was found to be The yield of the shallot was kg/m2 with average tuber diameter of 10-15 mm. This production was suboptimal, yet profit and cost comparisons could be clearly described through the simulations of three types of hydroponics modules. Keywords cost and profit analysis, hydroponics cultivation, nutrition solution, shallot Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free A preview of the PDF is not available ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Mareli TelaumbanuaDi daerah tropis, pertumbuhan tanaman cabai dipengaruhi oleh beberapa faktor iklim seperti suhu, nutrisi, dan cahaya. Suhu, unsur hara, dan kelengasan tanah yang tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman, mampu menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hal ini diakibatkan oleh terganggunya produksi enzim dan pembentukan hormon untuk membantu pembentukan jaringan tanaman. Terganggunya pertumbuhan tanaman cabai, ditunjukkan melalui rendahnya pertumbuhan luas permukaan daun dan tinggi tanaman, saat dibandingkan tanaman yang berada pada suhu ideal. Untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil yang maksimal, dibutuhkan sistem kontrol yang mampu mengendalikan suhu, kelengasan tanah, dan hama saat tanaman cabai dibudidayakan. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah merancang suatu sistem pengendalian yang mampu mengendalikan iklim mikro, pemupukan dan pengendalian hama untuk pertumbuhan tanaman cabai. Untuk itu, langkah pertama yang dilakukan adalah perancangan sensor suhu lingkungan dan sensor kelengasan tanah. Mikrokontroler menghubungkan sensor dengan aktuator pompa air dan pompa irigasi melalui modul relay dan transistor TIP122. Keakuratan sensor suhu DHT 22 dan sensor kelengasan tanah dihitung berdasarkan pendekatan nilai koefisien determinasi dan total error masing-masing sensor. Kinerja aktuator dalam perancangan ini, meliputi kecepatan respon dan durasi waktu kerja. Uji kinerja dilakukan sebanyak 3 kali percobaan tanpa menggunakan tanaman cabai. Koefisien determinasi R² sensor suhu 1, sensor suhu 2 dan sensor suhu 3 berturut-turut adalah 0,999, 0,999, dan 0,999. Total error dari ketiga sensor tersebut berturut-turut adalah -0,071 ºC, -0,085 ºC, dan 0,014 ºC. Koefisien determinasi R² sensor kelengasan 1, sensor kelengasan 2, dan sensor kelengasan 3 adalah 0,888, 0,8401, dan 0,8963. Total rerata error untuk ketiga jenis sensor kelengasan ini adalah -0,2204 % , -0,0952 % dan -2,8049 %.p>Rice is the food crop with the harvested area and production of the highest among other food crops in Karanganyar Regency. From year to year, its harvested area, production, and productivity tend to increase. These increments showed that rice farming is still in demand by farmers. This study aims to analyze the cost, revenue, and efficiency of rice farming in this regency. The study was conducted in 4 districts; Gondangrejo, Karanganyar, Jaten, and Jatipura. From each district were taken two villages. In total, there were 159 farm households sampled randomly. In average, the revenue of rice farming in Karanganyar is Rp14,429, with yearly costs of Rp7,142, The average annual income therefore reaches Rp7,286, The value of rice farming efficiency is indicating that rice farming in Karanganyar is worth the effort.
Untuklebih jelasnya, simak penjelasan cara menanam bawang merah secara hidroponik berikut ini : a). Cara menanam bawang merah secara hidroponik yang pertama yaitu menyiapkan bahan. Bahan dan alat yang digunakan meliputi : 1. Botol plastik bekas 2. Sekam bakar 3. Tanah 4. Benih bawang merah 5. Kain Flanel 6. Gunting atau cutter 7. Air 8
Tingkat risiko produksi dalam budidaya bawang merah akan mempengaruhi keputusan petani terutama dalam menentukan skala budidayanya dan keputusannya dalam menentukan jenis tanaman yang akan dibudidayakan selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko dalam produksi bawang merah dan perilaku petani terhadapnya, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat risiko dalam produksi bawang merah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey kepustakaan dengan menggunakan sumber kepustakaan untuk mengumpulkan data penelitian. Data yang dihasilkan kemudian dikumpulkan dan dianalisis untuk menarik kesimpulan tentang tingkat risiko produksi yang tinggi pada budidaya bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko dalam produksi bawang merah antara lain pupuk urea dan ZA, hama dan penyakit. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free *Corresponding Author Hal 33-42 Email ISSN Online 2774-7212 Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah I Made Windu Yasa, *I Gusti Agung Ari Bawarta, Gede Mekse Korri Arisena Magister Agribisnis, Universitas Udayana, Bali, Indonesia DOI ABSTRAK Tingkat risiko produksi dalam budidaya bawang merah akan mempengaruhi keputusan petani terutama dalam menentukan skala budidayanya dan keputusannya dalam menentukan jenis tanaman yang akan dibudidayakan selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko dalam produksi bawang merah dan perilaku petani terhadapnya, serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat risiko dalam produksi bawang merah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey kepustakaan dengan menggunakan sumber kepustakaan untuk mengumpulkan data penelitian. Data yang dihasilkan kemudian dikumpulkan dan dianalisis untuk menarik kesimpulan tentang tingkat risiko produksi yang tinggi pada budidaya bawang merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko dalam produksi bawang merah antara lain pupuk urea dan ZA, hama dan penyakit. Kata Kunci Bawang Merah, Komoditi, Produksi, Risiko, Usahatani. ABSTRACT The level of production risk in growing shallots will affect the decisions farmers make, especially about how much they will grow and what kinds of plants they will grow next. This study aims to determine the level of risk in the production of shallots and the behavior of farmers towards it, as well as to determine the factors that influence the level of risk in the production of shallots. The method used in this research is a literature survey using library sources to collect research data. The resulting data is then collected and analyzed to draw conclusions about the high level of production risk in shallot cultivation. The results showed that urea and ZA fertilizers, pests, and diseases are all things that can hurt the growth of shallots. Keywords Shallots, Commodity, Production, Risk, Farming. PENDAHULUAN Bawang merah merupakan komoditas strategis karena diharapkan untuk konsumsi keluarga selain untuk industri makanan. Untuk rumah tangga, bawang merah digunakan sebagai bumbu masakan. Selain untuk taburan masakan, industri pangan membutuhkan bawang merah untuk diolah menjadi bumbu masak siap pakai, untuk taburan lauk pauk, serta berbagai bumbu masakan Kemendag RI 2020. This is an open access article under the CC-BY 34 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Data dari Statistik Tanaman Hortikultura 2019 Badan Pusat Statistik, enam provinsi yang merupakan Negara penghasil bawang merah terbesar di Indonesia adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan dalam urutan bawang merah terbesar. Keenam provinsi tersebut menyumbang 93,38% dari total produksi bawang merah kering nasional yang mencapai 1,6 juta ton. Jawa Tengah merupakan penghasil bawang merah terbesar Pengalaman bertahun-tahun dalam budidaya pertanian yang dimiliki petani, tidak selalu menjadikan petani Mencapai tingkat efisiensi dan produktivitas yang sesuai. Bahkan dengan paket teknologi, musim , dan medan yang sama pada berbagai produksi. Pada dasarnya hasil yang diperoleh merupakan hasil kerja dari banyak faktor, baik yang dapat dikendalikan maupun yang bersifat internal atau yang tidak dapat dikendalikan atau bersifat eksternal Astuti dkk. 2019. Faktor eksternal yang paling sering dihadapi petani adalah ketidakpastian harga, dimana petani dalam kondisi ini hanya sebagai price taker. Fluktuasi harga komoditas pertanian sangat sering terjadi yang dipengaruhi oleh banyak faktor seperti jumlah permintaan konsumen, panjangnya rantai pemasaran serta spekulasi pedagang yang cenderung ingin memperoleh keuntungan tinggi. Berbagai macam risiko usahatani dapat menurunkan tingkat pendapatan petani yaitu risiko produksi, risiko harga atau pasar, risiko institusi, risiko manusia dan risiko keuangan Pusdatin 2019. Petani bawang merah di sawah dataran rendah kebanyakan adalah petani kecil hingga menengah. Perilaku petani dalam melakukan kegiatan pertanian sangat bergantung pada perilaku mereka dalam menghadapi risiko dan strategi mereka dalam menghadapi risiko, baik risiko produksi maupun risiko harga komoditas yang dihasilkan Arya dkk. 2015. Tingkat penerimaan petani terhadap risiko dalam kegiatan usaha tani sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya dalam melakukan mitigasi risiko tersebut. Identifikasi jenis-jenis risiko yang kemungkinan terjadi dalam kegiatan usahatani mempengaruhi tingkat kesiapan petani dalam menghadapinya, dengan berbekal pengetahuan, keterampilan dan pengalaman panjang dalam kegiatan usaha tani yang sama. Dalam penelitian Arya dkk. 2015 menyatakan bahwa sebagian besar petani sudah memperhitungkan risiko produksi dan risiko harga sebagai bagian dari kegiatan usahatani yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kerugian dan tidak hanya sebagai penyimpangan hasil usahatani. Petani memiliki persepsi bahwa Tingkat resiko produksi budidaya bawang merah tinggi dan hal ini dimungkinkan karena kurangnya penguasaan teknik produksi. Beberapa petani juga menganggap risiko harga budidaya bawang merah tinggi. Hal ini dikarenakan harga bahan baku yang fluktuatif atau fluktuatif karena merupakan faktor eksternal yang berada di luar kendali petani. Astuti dkk. 2019 dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkat risiko produksi usahatani bawang merah pada musim hujan lebih rendah dibandingkan pada musim kemarau. Hal ini bertolak belakang dengan risiko produksi usahatani bawang merah yang dihadapi petani yang lebih tinggi pada musim hujan dikarenakan meningkatnya serangan hama dan penyakit. Dari data penelitian, hal ini dapat disebabkan oleh kesiapan petani dalam mencegah risiko produksi yang akan terjadi pada saat musim hujan dengan penggunaan input yang lebih banyak dan penerapan teknologi pertanian yang baik sehingga diharapkan dapat menstabilkan produksi bawang merah. 35 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Risiko produksi dan pendapatan yang dihadapi petani bawang merah termasuk dalam kategori tinggi. Semakin tinggi risiko bagi petani, semakin tinggi pendapatannya. Perubahan iklim dan cuaca yang menyebabkan kelangkaan air dan penyebaran hama seperti larva bawang merah dan layu Fusarium merupakan beberapa risiko yang dihadapi petani bawang merah dalam kegiatan pertaniannya. Petani bawang merah melakukan beberapa hal untuk mengurangi risiko yang dihadapinya, antara lain dengan menerapkan pola usahatani campuran pada satu hamparan yang Menggabungkan padi, palawija dan sayur-sayuran dalam satu areal yang sama, menanam padi, palawija dan sayur-sayuran di areal kecil yang berbeda, penyemprotan dan pemupukan untuk mengendalikan hama dan penyakit. Melakukan pemilahan dan penjemuran umbi bawang merah yang dihasilkan. Umbi bawang merah berkualitas baik selanjutnya dipisahkan dengan umbi busuk dan muda dengan melakukan sortasi dan grading Nailufar dkk. 2019. Kegiatan usahatani selalu menimbulkan risiko yang harus dihadapi oleh petani. Tinggi rendahnya tingkat risiko yang ada khususnya risiko produksi dalam kegiatan budidaya bawang merah akan sangat berpengaruh terhadap keputusan petani terutama dalam menentukan skala budidayanya, dan akan mempengaruhi keputusan petani untuk memilih jenis komoditas yang akan diusahakan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat risiko produksi budidaya bawang merah dan perilaku petani dalam menghadapinya, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat risiko produksi budidaya bawang merah. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai refleksi untuk mengurangi tingkat resiko dalam produksi bawang merah. METODE PENELITIAN Studi ini dilaksanakan mulai dari bulan April hingga Mei 2022 melalui tahapan kajian pustaka. Kajian ini dilakukan dengan melakuan kajian terhadap 20 dua puluh hasil penelitian sebelumnya yang dipublikasikan antara tahun 2006 sampai 2021 di jurnal yang membahas tentang analisis risiko usahatani bawang merah di Indonesia yang digunakan sebagai acuan dan tidak mengumpulkan data secara langsung. Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai bahan penelitian yang berasal dari penelitian-penelitian sebelumnya, disajikan secara kuantitatif dan kualitatif Harlina dkk. 2018. Data sekunder adalah data yang sudah diperoleh berupa data yang dikumpulkan oleh orang atau lembaga lain. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur atau studi literatur. Menurut Zed 2008, dalam studi pustaka, pengumpulan pustaka tidak hanya sebagai langkah awal dalam menyiapkan kerangka penelitian namun juga memanfaatkan sumber-sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian. Data-data yang diperoleh kemudian dikompilasi, dianalisa dengan baik untuk mendapatkan kesimpulan tentang risiko produksi dalam usahatani bawang merah. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tingkat Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah dan Perilaku Petani Adetya 2021 menyatakan bahwa petani dalam membuat suatu keputusan cenderung menghindari risiko yang disebabkan oleh kehidupan petani di pedesaan selalu berhadapan dengan ketidakpastian tentang cuaca dan adanya tuntutan dari luar. Berusaha menghindari kegagalan yang dapat menurunkan kesejahteraanya merupakan karakter asli 36 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah yang dimiliki oleh petani tanpa adanya kemauan untuk menghadapi risiko untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar. Analisis risiko produksi dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko yang ditimbulkan dalam produksi petani dalam kegiatan pertanian dengan memeriksa koefisien variasi CV. Koefisien variasi CV adalah ukuran yang digunakan untuk menentukan tingkat risiko relatif dengan membandingkan standar deviasi dengan nilai yang diharapkan Adetya, 2021. Berdasarkan hasil penelitian Adetya 2021 di Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur mengemukakan bahwa tingkat risiko produksi budidaya bawang merah di Kabupaten Sampang cenderung rendah yang dikarenakan petani lokal menentukan waktu yang tepat untuk penanaman bawang merah yaitu sekitar bulan April atau Mei. Zul Mazwan dkk. 2020 yang melakukan penelitian di Kota Malang, Jawa timur juga menyatakan hal yang sama, dikarenakan petani lebih memilih menanam komoditas bawang merah hanya pada musim kemarau dimana Serangan hama dan penyakit tidak separah pada musim hujan, sehingga risikonya jauh lebih rendah. Ghozali & Wibowo 2019, dalam penelitiannya di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, menemukan bahwa produksi tanaman bawang merah berisiko tinggi, terutama bila ditanam pada musim hujan off-season, tinggi, dan penggunaan pestisida cair. juga meningkat pesat, berdampak pada biaya produksi. Sejalan dengan penelitian di Kabupaten Bogor, Jawa Barat Pasaribu 2017, kami juga menemukan bahwa budidaya bawang merah di luar musim memiliki risiko produksi yang tinggi. Hasil penelitian dari Nailufar dkk. 2019 di Kabupaten Serang, Jawa Tengah juga menyatakan tingkat resiko produksi dalam usahatani bawang merah termasuk dalam kategori tinggi. Semakin tinggi risiko dalam produksi pertanian, semakin tinggi risiko pendapatan bagi petani. Konsisten dengan apa yang dilaporkan Mutisari & Meitasari 2019 dalam penelitiannya di Kota Batu, Jawa Timur, risiko budidaya bawang merah relatif tinggi. Tabel 1 Tingkat Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Beberapa Lokasi Penelitian Sumber Data Diolah 2022 37 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Putri dkk. 2018 Sebuah studi yang dilakukan di desa Songan Kabupaten Bangli menemukan bahwa produksi budidaya bawang merah berisiko tinggi. Termasuk risiko tinggi karena dipengaruhi oleh ketinggian lahan dimana pada daerah atas atau lebih tinggi memiliki tingkat risiko lebih tinggi dibandingkan daerah yang lokasinya lebih dibawah. Hal ini dikarenakan kelembaban udara dan curah hujan lebih tinggi pada daerah bawah yang juga mempengaruhi pertumbuhan bawang merah. Nadhilah 2019 dalam penelitiannya di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara menyatakan bahwa risiko pendapatan merupakan risiko tertinggi dalam budidaya bawang merah. Tingginya risiko pendapatan sangat dipengaruhi oleh tingginya risiko Mengingat adanya kekhawatiran penurunan produksi akibat serangan hama, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan seperti penyemprotan pestisida dan pemberian bahan kimia. Pendapatan usahatani bawang merah yang relatif tinggi di kota Medan memiliki kecenderungan risiko produksi yang relatif tinggi. Tingginya risiko produksi budidaya bawang merah juga ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Arya dkk. 2015 di Kabupaten Buleleng, Bali. Sebagai produk dengan nilai ekonomi tinggi dan risiko produksi tinggi juga cenderung tinggi diperlukan adanya strategi manajemen risiko mulai dari perencanaan usahatani seperti penentuan pola tanam, saat kegiatan budidaya dilakukan seperti pemakaian input yang berlebih dan setelah usahatani selesai atau panen yang meliputi kegiatan mempertahankan keberlanjutan usahatani setelah mengalami kegagalan seperti melakukan peminjaman dana dan pejualan aset serta penggunaan pendapatan sumber lainnya. Lawalata 2017 dalam penelitiannya di Kabupaten Bantul, provinsi Jawa Tengah menyatakan bahwa tingginya risiko produksi usahatani bawang merah menyebabkan petani berhati-hati dalam melakukannya sehingga mereka melakukan pola tumpang sari antara bawang merah dan cabai dengan tujuan mengurangi risiko yang ada. Perilaku petani dalam kegiatan usahatani sangat tergantung pada risiko yang dihadapi dan strategi mereka dalam menghadapi risiko yang ada baik risiko produksi maupun risiko harga output Arya dkk. 2015. Sikap petani terhadap risiko dalam pertanian dapat dibedakan menjadi kelompok petani yang penghindar risiko risk averse, petani netral risk neutral dan petani yang berani mengambil risiko risk enthusiast. Tabel 2 menunjukkan tanggapan petani terhadap risiko produksi tanaman bawang merah di beberapa daerah penelitian. Budiningsih & Pujiharto 2006 dalam penelitiannya di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah menyatakan petani cenderung bersikap netral yang kemungkinan disebabkan oleh persepsi petani terhadap risiko dalam usahatani sudah merupakan hal biasa dan pasti terjadi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmania Fajri & Fauziyah 2019 di Desa Pojanan Barat, Kabupaten Pamekasan yang menjelaskan bahwa perilaku petani terhadap risiko produksi dalam usahatani bawang merah juga cenderung bersikap netral yang artinya petani akan tetap membudidayakan bawang merah tidak terpengaruh oleh tingkat risiko yang ada dan memandang risiko sebuah hal biasa terjadi terlebih dalam kegiatan usahatani. 38 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Tabel 2 Berbagai Perilaku Petani terhadap Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah pada Beberapa Lokasi Penelitian Sumber Data Diolah 2022 Mutisari & Meitasari 2019 dalam penelitiannya di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur menyatakan bahwa petani rata-rata bersifat Risk Averter menghindari risiko. Kegagalan produksi akan mempengaruhi keputusan petani dalam menentukan komoditas yang akan dibudidayakan selanjutnya. Sejalan dengan penelitian Putra dkk. 2020, di Desa Sajen, Kabupaten Mojokerto Petani bawang merah juga cenderung menghindari risiko risk aversion. Perilaku Petani dalam Budidaya Bawang Merah yang cenderung menghindari risiko juga disampaikan oleh Nadhilah 2019 dalam penelitiannya di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Petani di Kota Medan masih banyak yang enggan melakukan usaha tani bawang merah karena takut mengalami kegagalan produksi akibat serangan hama dan penyakit yang tidak dapat diprediksi. Sejalan dengan penelitian Lawalata 2017 yang dilakukan di Kabupaten Bantul, provinsi Jawa Tengah yang manyatakan bahwa petani di Kabupaten Bantul kebanyakan bersikap menolak atau menghindari risiko sehingga untuk mengurangi Risiko produksi tanaman bawang merah ditimbulkan oleh sistem budidaya bawang merah dan cabai campur. Tidak semua petani di wilayah studi netral atau risk-averse produksi dalam budidaya bawang merah. Di beberapa daerah, petani lebih berani mengambil risiko Risk Lover. Widyantara & Yasa 2013 melakukan penelitian di Desa Buahan, Kabupaten Bangli menyatakan bahwa meskipun kegiatan usaha tani bawang merah pada musim kemarau di daerah penelitian memiliki risiko Lebih besar dari musim hujan, petani masih berani mengambil risiko dengan selalu menanam bawang merah di musim hujan dan kemarau. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ester 2017 di Kabupaten solok, Provinsi Sumatera barat yang manyatakan bahwa petani cenderung berani menghadapi risiko karena mereka telah memahami bahwa dalam melakukan usaha tani pasti memiliki risiko dan untuk menghadapi risiko, petani melakukan strategi preventif dan mitigasi seperti pengaturan pola tanam, penggunaan mulsa, pananaman varietas bibit berbeda dan sebagainya. 39 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Risiko Usahatani Bawang Merah Kegiatan Pertanian sangat Rentan terhadap Serangan Hama dan Penyakit Kegiatan usahatani sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit yang merugikan petani. Risiko ketidakpastian yang cukup tinggi seperti kegagalan panen pada komoditas bawang merah dapat mendorong petani untuk beralih ke komoditas lain untuk dibudidayakan khususnya komoditas yang bernilai ekonomis tinggi namun dengan risiko produksi yang rendah. Sumber faktor risiko produksi bawang merah di beberapa daerah penelitian yang diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya. Anda bisa melihatnya di Tabel 3. Putra dkk. 2020 dalam penelitiannya di Kabupaten Mojokerto menyatakan Ada dua variabel yang mempengaruhi risiko dalam produksi bawang merah yaitu pupuk urea dan ZA karena memiliki nilai probabilitas yang jauh di bawah probabilitas. Penggunaan urea yang berlebihan akan merusak tanah dan mengganggu keseimbangan unsur hara yang akan mempengaruhi kualitas tanah. Lawalata 2017 yang melakukan penelitian di Kabupaten Bantul, provinsi Jawa Tengah yang manyatakan bahwa serangan hama dan faktor cuaca yang tidak menentu merupakan faktor yang secara signifikan mempengaruhi risiko. Penggunaan pestisida dan obat-obatan banyak digunakan untuk mengurangi risiko produksi dalam budidaya bawang merah. Tabel 3 Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah pada beberapa Lokasi Penelitian Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Hama dan Penyakit, Cuaca/Iklim Sumber Data Diolah 2022 40 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ghozali & Wibowo 2019 di Kabupaten Nganjuk, Nailufar dkk. 2019 dalam penelitiannya di Kabupaten Serang, Putri dkk. 2018 dalam penelitiannya di Desa Songan Kabupaten Bangli, Nurul Nadhilah 2019 dalam penelitiannya di Kota Medan, Rahmania Fajri & Fauziyah 2019 dalam penelitiannya di Desa Pojanan Barat Kabupaten Pamekasan serta hasil penelitian yang dilakukan oleh Ester 2017 di Kabupaten solok Provinsi Sumatera barat, semuanya menyatakan bahwa serangan Hama serta kondisi cuaca sangat mempengaruhi tingkat resiko dalam produksi bawang merah, sehingga penggunaan pestisida sangat tinggi. Mutisari & Meitasari 2019 dalam penelitiannya di kota Batu, Provinsi Jawa Timur, menyampaikan bahwa faktor yang mempengaruhi tingkat risiko produksi budidaya bawang merah adalah Infestasi hama dan penyakit. Berdasarkan dari penelitian Arya dkk. 2015 di Kabupaten Buleleng dan penelitian di kota Malang Zul Mazwan dkk. 2020 faktor utama dalam budidaya bawang merah adalah hama dan penyakit. Pemakaian pestisida dan obat-obatan berlebih untuk menangani serangan hama penyakit tersebut dikhawatirkan berdampak pada kesehatan petani dan kerusakan lingkungan sekitar dalam waktu panjang. SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. 1 Risiko produksi budidaya bawang merah tidak sama di semua wilayah, namun sebagian besar wilayah termasuk dalam kategori risiko produksi tinggi dan hanya beberapa wilayah yang termasuk dalam kategori risiko produksi rendah. mempertaruhkan. 2 Perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi dalam budidaya bawang merah sangat bergantung pada persepsi risiko dan pengalaman petani dalam budidaya bawang merah. Sebagian besar kelompok petani bersikap menghindari risiko Risk Averter, beberapa kelompok petani berani menerima risiko Risk Lover dan sebagian kecil bersikap netral terhadap risiko Risk Neutral. 3 Hama dan penyakit, serta kondisi cuaca/iklim merupakan faktor yang sangat mempengaruhi tingkat risiko produksi budidaya bawang merah. Adapun saran yang disampaikan dalam penelitian ini adalah 1 Bagi petani, harus memahami terlebih dahulu risiko produksi yang berpotensi muncul pada saat ingin membudidayakan suatu komoditas seperti bawang merah, sehingga memiliki persepsi terhadap risiko tersebut dan mampu melakukan pengendalian pada saat risiko tersebut muncul. 2 Bagi petani, sebaiknya melakukan mitigasi dan identifikasi risiko produksi yang sering dan berpotensi muncul di daerahnya masing-masing sehingga dapat melakukan pengendalian lebih awal seperti melakukan pola tanam, penggunaan varietas unggul, penggunaan pupuk organik serta pestisida nabati/ hayati dalam pemberantasan hama. 3 Guna mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan ketahanan tanaman daun bawang terhadap hama/penyakit, petani dihimbau untuk menggunakan pestisida dan formulasinya sesuai dengan dosis yang dianjurkan. 4 Untuk studi lebih lanjut, beberapa hasil saat ini untuk analisis risiko pendapatan tanaman bawang merah dapat diperiksa dengan menggunakan metode tinjauan literatur. 41 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah DAFTAR PUSTAKA Adetya, A. 2021. Analisis Produksi, Pendapatan dan Risiko Usahatani Bawang Merah di Kecamatan Sokobanah Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur. Agriscience, 25, 17–31. Astuti, L. T. W., Daryanto, A., Syaukat, Y., & Daryanto, H. K. 2019. Analisis Resiko Produksi Usahatani Bawang Merah pada Musim Kering dan Musim Hujan di Kabupaten Brebes. Jurnal Ekonomi Pertanian Dan Agribisnis, 34, 840–852. Budiningsih, S., & Pujiharto. 2006. Analisis Risiko Usahatani Bawang Merah di Desa Klikiran Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes. Agritech, 81, 127–143. Ester, M. W. 2017. Analisis Risiko Usahatani Bawang Merah Allium Ascalonium L. Di Nagari Sungai Nanam Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok. Skripsi. Universitas Andalas. Ghozali, M. R., & Wibowo, R. 2019. Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 32, 294–310. Kemendag RI. 2020. Profil Komoditas Bawang Merah. Kementerian Perdagangan, 1–38. Lawalata, M. 2017. Risiko Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Bantul. Jurnal Agrica, 102, 56. Mutisari, R., & Meitasari, D. 2019. Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Kota Batu. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 33, 655–662. Nailufar, S. F., Anggraeni, D., Sari, R. M. 2019. Analisis Risiko Produksi dan Penawaran Bawang Merah Kasus di Desa Toyomerto Kecamatan Kramatwatu Kabupaten Serang. Ilmu Pertanian Tirtayasa, 11, 22–36. Nurul Nadhilah. 2019. Analisis Risiko Produksi , Harga dan Pendapatan pada Usaha Pembenihan Bawang Merah Allium Cepa Var . Ascalonicum Kasus Kecamatan Medan Marelan Kota Medan. 1–85. Pasaribu, S. M. 2017. Risiko Produksi Pangan Tantangan dan Peluang. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian Bogor, 206–224. 42 I Made W. Y. dkk., Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Pusdatin. 2019. Outlook Bawang Merah Komoditas Pertanian Subsektor Holtikultura. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian, 1–71. Putra, Y. H., Dwi Susilowati, & Farida Syakir. 2020. Analisis Risiko Usahatani Bawang Merah di Desa Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 82, 49–58. Putri, A., Dewi, R. K., & Yudhari, I. D. A. S. 2018. Analisis Risiko Produksi Bawang Merah di Desa Songan B, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Jurnal Agribisnis dan Agrowisata, 73, 392. Rahmania Fajri, S., & Fauziyah, E. 2019. Keterkaitan Efisiensi Teknis dan Perilaku Risiko Petani Usahatani Bawang Merah Varietas Manjung. Jurnal Hortikultura Indonesia, 93, 188–196. Widyantara, W., & Yasa, N. 2013. Iklim Sangat Berpengaruh terhadap Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah Allium Ascalonicum L. E-Journal Agribisnis dan Agrowisata, 21, 32–37. Zed, Mestika. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta Yayasan Obor Indonesia. Zul Mazwan, M., Tarik Ibrahim, J., & A M Fadlan, W. 2020. Risk Analysis of Shallot Farming in Malang Regency, Indonesia. Agricultural Social Economic Journal, 203, 201–206. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Produksi, Pendapatan danA AdetyaAdetya, A. 2021. Analisis Produksi, Pendapatan dan Risiko Usahatani Bawang Merah di Kecamatan Sokobanah Kabupaten Sampang Provinsi Jawa Timur. Agriscience, 25, Resiko Produksi Usahatani Bawang Merah pada Musim Kering dan Musim Hujan di Kabupaten BrebesL T W AstutiA DaryantoY SyaukatH K DaryantoAstuti, L. T. W., Daryanto, A., Syaukat, Y., & Daryanto, H. K. 2019. Analisis Resiko Produksi Usahatani Bawang Merah pada Musim Kering dan Musim Hujan di Kabupaten Brebes. Jurnal Ekonomi Pertanian Dan Agribisnis, 34, 840-852. Risiko Usahatani Bawang Merah di Desa Klikiran Kecamatan Jatibarang Kabupaten BrebesS BudiningsihPujihartoBudiningsih, S., & Pujiharto. 2006. Analisis Risiko Usahatani Bawang Merah di Desa Klikiran Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes. Agritech, 81, Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten NganjukM R GhozaliR WibowoGhozali, M. R., & Wibowo, R. 2019. Analisis Risiko Produksi Usahatani Bawang Merah di Desa Petak Kecamatan Bagor Kabupaten Nganjuk. Jurnal Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 32, 294-310. I KemendagKemendag RI. 2020. Profil Komoditas Bawang Merah. Kementerian Perdagangan, Usahatani Bawang Merah di Kabupaten BantulM LawalataLawalata, M. 2017. Risiko Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Bantul. Jurnal Agrica, 102, 56. Risiko Produksi dan Penawaran Bawang Merah Kasus di Desa Toyomerto Kecamatan Kramatwatu Kabupaten SerangS F NailufarD AnggraeniR M SariNailufar, S. F., Anggraeni, D., Sari, R. M. 2019. Analisis Risiko Produksi dan Penawaran Bawang Merah Kasus di Desa Toyomerto Kecamatan Kramatwatu Kabupaten Serang. Ilmu Pertanian Tirtayasa, 11, Risiko Produksi , Harga dan Pendapatan pada Usaha Pembenihan Bawang Merah Allium Cepa Var . Ascalonicum KasusNurul NadhilahNurul Nadhilah. 2019. Analisis Risiko Produksi, Harga dan Pendapatan pada Usaha Pembenihan Bawang Merah Allium Cepa Var. Ascalonicum Kasus Kecamatan Medan Marelan Kota Medan. Produksi Pangan Tantangan dan Peluang. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian BogorS M PasaribuPasaribu, S. M. 2017. Risiko Produksi Pangan Tantangan dan Peluang. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian Bogor, 206-224.
100% found this document useful 1 vote2K views5 pagesDescriptionHIDROPONIK BAWANG MERAHCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 1 vote2K views5 pagesHasil Percobaan Sistem Hidroponik Pada Bawang MerahJump to Page You are on page 1of 5 You're Reading a Free Preview Page 4 is not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Arealpanen merupakan faktor penting untuk meningkatkan produksi bawang merah. Hidroponik adalah pengelolaan air yang digunakan sebagai media tumbuh tanaman dan sebagai tempat akar sektor usaha. Hal ini karena jarang masyarakat yang memanfaatkan tempurung Analisa kelayakan teknis dan ekonomis teknologi budidaya bawang merah dengan biji
Komoditas bawang merah merupakan komoditas dengan permintaan yang cukup tinggi di Indonesia. Rata-rata konsumsi bawang merah per kapita sebesar 0,54 ons per hari. Sebagai komoditas sayuran bawang merah termasuk komoditas dengan produksi tinggi sebesar juta ton pada tahun 2018. Sentra usaha bawang merah di Lampung masih dalam pengembangan untuk membantu menstabilkan kebutuhan suplai bawang merah dan menjaga kestabilan harga di pasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat serta kelayakan dalam aspek teknis, finansial dan sosial ekonomidalam usaha tani bawang merah. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu kawasan lahan pertanian bawang merah di Lampung Tengah kecamatan Kota Gajah. Metode yang digunakan meliputi wawancara langsunguntuk pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder melalui pusat informasi secara finansial menggunakan analisis kriteria investasi nilai NPV, IRR, rasio pendapatan dan biaya revenue and cost ratio. Hasil analisis teknis menunjukkan bahwa daerah kecamatan Kota Gajah memiliki iklim, jenis tanah dan ketersediaan serta skill petani yang memenuhi untuk tanaman bawang merah. Pada analisis finansial menunjukkan usaha tersebut layak dijalankan karena diperoleh rasio revenue dan cost sebanyak 1,8, dengan nilai NPV Rp. dan IRR 15,19% pada periode kedua diatas tingkat diskonto. Pada aspek sosial ekonomi menunjukkan bahwa tanaman bawang merah mampu meningkatkan penghasilan petani sebanyak 4 kali lipat dibanding menanam padi serta membuka hubungan kerjasama dengan berbagai pihak baik pemerintah, swasta dan petani di luar kecamatan Kota Gajah. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free JURNAL TEKNIK INDUSTRI ISSN 1693-8232 HEURISTIC 43 ANALISIS USAHA TANI BAWANG MERAH DALAM ASPEK TEKNIS, FINANSIAL DAN SOSIAL EKONOMI DI KECAMATAN KOTA GAJAH, LAMPUNG TENGAH Dian Fajarika1, Rizqa Ula Fahadha2 1,2Program Studi Teknik Industri, Institut Teknologi Sumatera ABSTRAK Komoditas bawang merah merupakan komoditas dengan permintaan yang cukup tinggi di Indonesia. Rata-rata konsumsi bawang merah per kapita sebesar 0,54 ons per hari. Sebagai komoditas sayuran bawang merah termasuk komoditas dengan produksi tinggi sebesar juta ton pada tahun 2018. Sentra usaha bawang merah di Lampung masih dalam pengembangan untuk membantu menstabilkan kebutuhan suplai bawang merah dan menjaga kestabilan harga di pasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat serta kelayakan dalam aspek teknis, finansial dan sosial ekonomidalam usaha tani bawang merah. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu kawasan lahan pertanian bawang merah di Lampung Tengah kecamatan Kota Gajah. Metode yang digunakan meliputi wawancara langsunguntuk pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder melalui pusat informasi secara finansial menggunakan analisis kriteria investasi nilai NPV, IRR, rasio pendapatan dan biaya revenue and cost ratio. Hasil analisis teknis menunjukkan bahwa daerah kecamatan Kota Gajah memiliki iklim, jenis tanah dan ketersediaan serta skill petani yang memenuhi untuk tanaman bawang merah. Pada analisis finansial menunjukkan usaha tersebut layak dijalankan karena diperoleh rasio revenue dan cost sebanyak 1,8, dengan nilai NPV Rp. dan IRR 15,19% pada periode kedua diatas tingkat diskonto. Pada aspek sosial ekonomi menunjukkan bahwa tanaman bawang merah mampu meningkatkan penghasilan petani sebanyak 4 kali lipat dibanding menanam padi serta membuka hubungan kerjasama dengan berbagai pihak baik pemerintah, swasta dan petani di luar kecamatan Kota Gajah. Kata Kunci Analisis usaha tani, bawang merah, aspek teknis, finansial, sosial ekonomi ABSTRACT Shallot commodity is one of agricultural commodity that has high demand in Indonesia. The average consumption of shallots per capita is ounces per day. Shallot is kind of vegetable with production million tons in 2018. Production centre of shallot in Lampung, one of provincein Indonesia, is still developed. It is purposed to stabilize shallot stock and keep prices balancing in market. This study aims to determine the benefits and feasibility in technical, financial and sosio-economic aspects in shallot farming. This research was carried out in Kota Gajah Subdistrict, Central Lampung. The methods used are direct interviews for primary data, literature study in regional information center for secondary data technical aspect result that area ofKota Gajah subdistrict has a climate,type of soil and farmers' skills that available for shallot farming. The financial analysis shows that the project for shallot centre development in Kota Gajah is feasible with revenue and cost ratio obtained NPV Analisis Usaha Tani Bawang Merah dalam Aspek Teknis… 44 value is Rp. 16, 343, 200,777,- and interest rate return IRR in the second period above the discount rate. On socio-economic aspect can be showed that the shallot farming can increase farmer’s income as much as 4 times higher than paddy farming. The shallot farming also open relationship for cooperation with various parties such as government, private sector and other farmers group in outside Kota Gajah Subdistrict. Keywords farming analysis, shallots, technical, financial, socio-economic PENDAHULUAN Komoditas bawang merah merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia. Komoditas yang tergolong dalam jenis sayuran ini dimanfaatkan sebagai bumbu masakan dan obat. Dalam rangka memndukung swasembada komoditas pertanian, Indonesia berupaya untuk mengurangi impor komoditas bawang merah. Hal ini dapat dibuktikan bahwa Indonesia mampu memenuhi kebutuhan bawang merahnya sendiri dan mengekspor bawang merah sebanyak ton bawang merah pada tahun 2014. Tingkat produksi bawang merah mencapai 1,49 juta ton pada tahun 2018 Badan Ketahanan Pangan, 2019. Penanaman komoditas bawang merah saat ini masih didominasi di Pulau Jawa Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur sebesar Nusa Tenggara Barat sebesar 14,92%, dan sisanya di daerah Sumatera, Sulawesi, Bali dan Yogyakarta Inagri, 2019. Bawang merah hanya dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang memiliki kecukupan air dan angin. Komoditas ini yang rentan terhadap curah hujan. Tanaman bawang merah merupakan salah satu tanaman musiman dimana pada bulan tertentu akan mengalami kenaikan pesat, namun saat terjadi musim yang kering akan mengalami penurunan. Ketersediaan bawang merah yang fluktuatif tersebut berpengaruh terhadap perubahan harga. Beberapa permasalahan yang terjadi pada tanaman bawang merah diantaranya adalah produktivitas bawang merah di Indonesia yang masih rendah dengan rata-rata 9,24 ton/ha yang masih dibawah potensi produksi diatas 20 ton/ha Kementerian Pertanian, 2015. Kendala lainnya adalah mulai jenuhnya lahan bawang merah di Pulau Jawa khususnya di Jawa Tengah yang merupakan sentra produksi bawang merah dan menyumbangkan 71% dari kebutuhan bawang merah nasional Inagri, 2019. Pemerintah mentargetkan ekspor komoditas bawang merah pada tahun 2019 sebanyak 2750 ton bawang. Realisasi ekspor bawang merah sampai tahun 2019 hanya 252 ton. Jumlah ekspor ini turun secara signifikan dibandingkan pada tahun 2014 yang dapat mengekspor hingga 74 ribu ton. dapat menjadi komoditas ekspor ke negara tetangga. Untuk mengatasi kejenuhan lahan pertanian di Pulau Jawa, diperlukan pengembangan komoditas di luar pulau Jawa. Salah satu Kawasan yang berpotensi untuk dikembangkan adalah Provinsi Lampung. Berdasarkan hasil kajian penelitian komoditas unggulan Bank Indonesia didapatkan hasil bahwa Lampung memiliki potensi komoditas unggulan bawang merah. Komoditas ini menjadi komoditas unggulan terutama di Kabupaten Lampung Tengah dengan potensi lintas sektor tertinggi untuk sektor komoditi sayuran Bank Indonesia, 2017. Pengembangan usaha pertanian bawang merah membutuhkan kajian mengenai aspek finansial dan teknis di lahan baru. Hal ini dibutuhkan untuk mendapatkan Jurnal Teknik Industri HEURISTIC, Vol. 17 No. 1, Hal. 43-54 45 gambaran kelayakan investasi serta benefit bagi lingkungan sekitar. Penelitian mengenai usaha bawang merah sebelumnya dilakukan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Nurasa, Tjetjep, 2007. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis usaha tani dan keragaan marjin pemasaran bawang merah. Data yang didaptkan berupa data pendapatan petani serta perhitungan marjn pada tingkat Lembaga. Sistem pemasaran yang dilakukan terdiri dari tebasan yaitu tawar menawar sebelum panen dilakukan, sistem borongan. Penelitian tersebut masih membahas mengenai marjin yang diterima oleh petani. Variabel analisis yang digunakan masih di keuntungan dan rasio benefit serta biaya dengan nilai sebesar B/C Dalam analisis kelayakan usaha bawang merah perlu dikaji secara finasial. Pengujian kelayakan secara finansial ini pernah dilakukan di tiga provinsi yaitu Sumatera Utara, Jawa Timur dan Jawa Tengah terhadap biji botani bawang merah true shallot seed. Hasil kajian secara finansial dapat menyatakan bahwa produksi TSS di Sumatera Utara dan Jawa Timur nilai revenue dibanding costR/C sebesar 3,44 dan 2,63. Namun untuk R/C di Jawa Tengah mengalami kerugian sebesar 184,3 juta atau R/C sebesar 0,41 Sembiring, Asma, dkk, 2018. Hal tersebut dapat menjadi tantangan untuk Sumatera dalam menghasilkan sentra usaha tani bawang merah dikarenakan peluang dari kajian yang memberikan hasil yang positif untuk perkembangan bawang merah. Biaya yang dipertimbangkan dalam menganalisis kelayakan finasial diantaranya biaya material meliputi benih, pupuk dan pestisida serta pollinator serangga penyerbuk. Biaya tenagakerja meliputi pengolahan sampai proses serta panen dan biaya lain meliputi biaya penyusutan peralatan asset produksi, biaya sewa dan biaya tak terduga sebesar 5% dari biaya material dan biaya tenaga kerja. Studi kelayakan terkait bawang merah diteliti di Sulawesi yang berfokus pada pengembangan benih bawang merah dengan menganalisis benefit cost ratio dari pengembangan benih bawang merah. Hasil benefit cost ratio menunjukkan bahwa benih bawang merah memiliki potensi produktifitas 14,9 ton per hektar dan benefit cost sebasar Heni, dkk, 2019. Variabel yang digunakan untuk menganalisis benefit dalam penelitian tersebut adalah total revenue, gross margin, net revenue, revenue cost ratio dan scare value untuk persepsi petani terhadap pengembangan usaha tani bawang merah. Dalam penelitian tersebut kelayakan usaha hanya dihitung dari masing masing petani yang memiliki lahan rata-rata ha. Penelitian tentang kelayakan sentra usaha tani bawang merah di Lampung Tengah menggunakan proyeksi luas total lahan yang tersedia di Kawasan Lampung Tengah terutama kecamatan Kota Gajah untuk semua kelompok petani. Lampung merupakan salah satu kawasan pengembangan tanaman hortikultura diantaranya tanaman bawang merah. Berdasarkan peta sebaran kawasan pengembangan tanaman hortikultura komoditas bawang merah, Lampung termasuk menjadi prioritas pertama kawasan untuk pengembangan komoditas bawang merah Gambar 1. Analisis Usaha Tani Bawang Merah dalam Aspek Teknis… 46 Gambar 1. Sebaran kawasan pengembangan komoditas bawang merah Inagri, 2017 Peta wilayah Kecamatan Kota Gajah mencakup Kota Gajah, Kota Gajah Timur, Purworejo, Sumber Rejo, Sritejo Kencono, Saptomulyo, Nambah Rejo. Sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani padi dan hortikultura. Melalui bantuan pemerintah, lokasi Kecamatan Kota Gajah merupakan wilayah yang dikembangkan menjadi sentar bawang merah di masa mendatang. Pengembangan usaha bawang merah diperlukan dalam upaya mendiversifikasi lokasi usaha pertanian. Diversifikasi tersebut diperuntukkan untuk meningkatkan kemajuan bidang pertanian di lokasi pertanian dan peningkatan pendapatan. Usah tani bawang merah perlu dikembangkan dalam mendukung strategi pemerintah dalam menjaga keseimbangan harga bawang merah. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan dikawasan Lampung Tengah tepatnya di Kecamatan Kota Gajah. Kawasan yang telah berhasi mengembangkan bawang merah diantaranya Peta wilayah kecamatan kota gajah mencakup Kota Gajah, Kota Gajah Timur, Purworejo, Sumber Rejo, Sritejo Kencono, Saptomulyo, Nambah Rejo. Pengumpulan data dilakukan berdasarkan studi literatur untuk data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survey lapang, wawancara dengan pejabat setempat dalam hal ini adalah camat Kota Gajah, wawancara dengan ketua kelompo petani serta perwakilan petani bawang merah di Kota Gajah. Survei lapang dilakukan untuk melihat kondisi area pertanian bawang merah, aliran irigasi untuk pertanian, teknologi penanaman yang digunakan dan kepadatan lokasi penanaman. Wawancara dilakukan untuk menggali informasi tentang perkembangan bawang merah, jumlah petani yang telah bergabung, bentuk dukungan pemerintah terhadap petani bawang merah, kerjasama yang telah dijalin dalam pengembangan usaha bawang merah, pemasaran bawang merah serta dampak yang dialami oleh warga sekitar dengan usaha bawang merah. Aspek yang dianalis dalam pengembangan usaha tani ini meliputi benefit dalam ekonomi, benefit dalam sosial. Benefit ekonomi dikaji dalam aspek finansial. Dalam aspek finansial dikaji tentang jumlah lahan yang disediakan untuk pengembangan usaha Jurnal Teknik Industri HEURISTIC, Vol. 17 No. 1, Hal. 43-54 47 bawang merah dalam satu kawasan yang sudah berjalan. Untuk mendapatkan kelayakan finansial dilakukan perhitungan asset, biaya tetap, biaya varibel dan biaya lain yang diperlukan untuk usaha sentra bawang merah. Dalam aspek finansial dilakukan perhitungan ratio terhadap benefit dan cost. Perhitungan asset dilakukan dengan menghitungjumlah lahan yang siap untuk penanaman bawang merah. Rata-rata petani bawang merah di kecamatan Kota Gajah menggarap tanah miliki pribadi, namun beberapa menyewa tanah pertanian. Biaya yang dihitung meliputi biaya tetap, biaya variabel langsung dan tidak langsung. Biaya tetap meliputi biaya sewa lahan. Biaya variabel dalam penelitian ini meliputi semua biaya yang dibutuhkan dalam persiapan, proses, pemanenan sampai bawang merah siap jual. Analisis kelayakan usaha tani menggunakan nilai NPV net present value untuk mengetahui selisih antara arus penerimaan dan pengeluaran sepanjang periode waktu tertentu. NPV positif menunjukkan keuntungan dari proyek. Zhao et al, 2016 Keterangan Bt = Penerimaan usaha tani pada tahun ke-t Ct= cost biaya usahatani pada tahun ke-t n= umur ekonomis proyek i = tingkat suku bunga yang berlaku Untuk menilai tingkat bunga yang bisa dihasilkan oleh proyek diukur dengan perhitungan internal rate of return IRR. IRR menunjukkan tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dari investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih dimana IRR dihitung sebagai berikut Keterangan IRR =Internal rate of return i1= suku bunga yang menghasilkan NPV positif i2 = suku bunga yang menghasilkan NPV negative NPV1 = NPV positif NPV2 = NPV negative Proyek dikatakan layak jika IRR lebih besar dari tingkat diskonto atau discount rate. Jika IRR kurang dari tingkat diskonto maka proyek dikatakan tidak layak. Untuk menilai tingkat investasi dilakukan perhitungan rasio revenue dan cost R/C. nilai R/C menunjukkan jumlah rasio untuk melihat keuntungan relatif yang akan didapatkan dalam sebuha proyek. Proyek dikatakan layak apabila niai R/C lebih dari 1, sebaliknya jika nilai R/C kurang dari 1 maka proyek dikatakan tidak layak. Selain R/C dihitung juga B/C ratio yang menunjukkan perbadingan antara nilai manfaat terhadap nilai biaya jika dilihat pada saat ini present value. Proyek dikatakan layak jika nilai B/C lebih dari 1. Perhitungan R/C dan B/C sebagai berikut Analisis Usaha Tani Bawang Merah dalam Aspek Teknis… 48 Total cost dihitung dari biaya tetap dan biaya variabelBosma, 2017. Perhitungan break event point dalam bentuk rupiah dihitung dari fixed cost biaya tetap dibagi dengan contribution margin. Contribution margin merupakan nilai dari variable cost dibagi dengan nilai jual barang per unit. Sedangkan untuk BEP dalam bentuk unit dihitung dari BEP rupiah dibagi harga jual per unit. Dalam penelitian ini unit dihitung dalam 1 kilogram bawang merah. Al Nasser, 2014 Benefit sosial dilakukan dengan mencari informasi terkait manfaat yang dapat dirasakan masyarakat dengan adanya program usaha tani bawang merah di Kecamatan Kota Gajah. Menurut United Nation Industrial Development Organization, 2017, adanya usaha agribisnis dikaitkan dengan manfaat sosial meliputi peningkatan usaha kecil di pedesaan, membantu menciptakan peluang pekerjaan dan kewirausahaan kelompok populasi yang rentan seperti wanita, pemuda dan korban konflik. Selain itu dapat meningkatkan keberlangsungan hasil komoditi dan ketersediaan pangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Teknis Tanaman bawang merah merupakan tanamanyang tumbuh di dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian idel 0-800 m atau plus minus 1100 m diatas permukaan laut. Suhu udara untuk penanaman bawang merah dalah iklim kering dengan suhu udara 25 - 32 0C dan pencahayaan sekita 70%. Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan bawang merah antara 1300 - 2500 mm/tahun. Kelembaban nisbi antara 80-90%. Intensitas matahari penuh lebih dari 10 jam/hari. Bawang merah harus ditanam pada lahan subur dan gembur serta mengandung bahan organik. Derajat keasaman tanah pH antara - Jenis tanah yang baik yaitu jenis alluvial dan regosol. Tanaman bawang merah memerlukan tiupan angin sepoi sepoi yang berpengaruh baik pada laju fotosintesis dan pembentukan umbi bawang yang tinggi Rukmana, 2018 Berdasarkan dari data dinas kehutanan dan perkebunan Kabupaten lampung Tengah, Lampung Tengah merupakan wilayah yang beriklim tropika basah dengan kecepatan angin rata rata 5,83 km/jam. Temperatur berkisar 26 - 28 0C. Daerah lampung tengah sebagian besar adalah dataran rendah dengan ketinggian 30 hingga 60 meter diatas permukaan laut. Kondisi geologi Jenis tanah pada lahan basah adalah tanah alluvial sedangkan pada lahan kering adalah jenis latosol coklat kemerahan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Lampung Tengah, 2014. Berdasarkan kondisi tersebut dapat diketahui bahwa secara iklim untuk daerah Lampung Tengah masih sesuai dengan kondisi untuk penanaman bawang merah. Akan tetapi perlu perlakuan pada tanah yang tidak semua lahan di daerah tersebut berjenis alluvial. Petani bawang merah di Lampung Tengah perlu melakukan pengecekan derajat keasaman tanah. Pengecekan tersebut dilakukan agar pH tanah sesuai dengan kondisi tanah untuk bawang merah. Jurnal Teknik Industri HEURISTIC, Vol. 17 No. 1, Hal. 43-54 49 Tanaman bawang merah memerlukan pengairan yang cukup dan terdapat guludan tanah yang selalu basah. Daerah di Lampung Tengah terutama di beberapa daerah seperti seputih raman dan Kota Gajah merupakan dua dari 13 tiga belas daerah di Lampung yang dialiri oleh sungai irigasi yang dinamakan sekampung sistem. Sungai ini berfungsi untuk mengaliri lahan pertanian warga sehingga musim tanam dapat dilakukan dengan sistem irigasi sungai buatan dengan panjang saluran sepanjang 7, 564,895 m2. Dengan aliran sungai tersebut menjamin adanya sumber air untuk kebutuhan irigasi di lahan pertanian. Untuk menjamin ketersediaan air, pemerintah daerah telah membantu pembangunan sumur bor dan instalasi pengairan ke lahan petani bawang merah. Kecukupan air sangat diperlukan pada awal fase tanam dimana tanaman bawang merah membutuhkan genangan air di sekitar guludan tanah. Luasan lahan di kecamatan Kota Gajah untuk jenis lahan basah sebesar 1023 ha dengan pengairan irigasi teknis sebesar 50,22% dan irigasi non teknis 27,37% serta tadah hujan 22,48% Badan Pusat Statistik Lampung Tengah, 2014. Ketersediaan irigasi baik teknis maupun nonteknis dengan total 77,59% ini memberikan peluang yang baik untuk penanaman bawang merah yang tergantung pada pengairan yang cukup. Aspek Finansial Analisis finansial dilakukan dengan mencari sumber data tentang penanaman bawang merah di Lampung Tengah. Dari beberapa kecamatan yang dikunjungi, untuk penanaman bawang merah masih didominasi oleh kecamatan Kota Gajah di Lampung Tengah. Di kecamatan tersebut masih rutin menanam bawang merah. Luas lahan yang diperkirakan untuk penanaman bawang merah kurang lebih 30 ha. Lahan tersebut dimiliki secara terpisah oleh petani. Komponen biaya yang dibutuhkan dalam usaha penanaman bawang merah meliputi aset, biaya tetap, biaya variabel. Informasi biaya didapatkan dari wawancara langsung dengan kelompok petani. Biaya usaha bawang merah ini tergantung dengan kondisi lahan dan cara pengolahan lahan bawang merah. Tabel 1. Komponen biaya perawatan Pembuatan tempat penjemuran Komponen biaya pada tabel 1 merupakan biaya yang dikeluarkan saat awal memulai usaha adalah biaya peralatan. Biaya ini mencakup biaya peralatan berladang, alat penyemprot hama, biaya pembuatan penjemur bawang merah setelah panen, pembuatan gudang penyimpanan bawang merah. Biaya ini dihitung untuk kapasitas hasil panen 30 hektar. Perhitungan biaya dilakukan dengan menjumlah semua rata-rata kebutuhan petani yang telah menanam bawang merah dan sebagian dihitung dengan mengalikan variabel dari rata-rata kebutuhan petani per hektar. Biaya produksi dihitung dari biaya tetap, biaya langsung dan tidak langsung untuk operasional dari persiapan, penanaman hingga kegiatan pascapanen usaha bawang merah. Biaya tetap meliputi biaya sewa lahan. Diasumsikan pada lahan tersebut setengah dari total lahan merupakan lahan sewa. Hal ini dikarenakan peminat usaha tani Analisis Usaha Tani Bawang Merah dalam Aspek Teknis… 50 bawang merah tidak hanya dari petani yang memiliki lahan tetapi juga masyarakat bukan petani yang tertarik untuk ikut dalam penanaman bawang merah. Biaya bahan langsung meliputi biaya bibit, biaya pupuk, biaya pestisida, jasa untuk pengolahan tanah, pengairan sampai jasa tenaga untuk aktivitas pasca panen. Biaya tidak langsung meliputi biaya transportasi, pembelian bahan bakar untuk mesin, biaya penyusutan alat dan lainnya tabel 2. Berdasarkan hasil perhitungan, total biaya untuk investasi awal sebesar Biaya produksi rata-rata untuk sentra usaha seluas 30 ha sebesar Rp. dengan kemampuan produksi sebagai usaha pemula pada satu lagi musim sebesar 5600 kg atau 5,6 ton. pendapatan yang mampu dihasilkan dari luasan tersebut sebesar Harga bawang merah diasumsikan sebesar 10 ribu pada musim raya. Rata rata harga jual bawang merah dari - per kilogram tergantung pada musim. Berdasarkan analisis biaya dalam tabel 2 didapatkan hasil revenue cost ratio R/C sebesar 1,8 Tabel 2. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembuatan sentra usaha tani bawang merah ini layak untuk dijalankan karena rasio R/C lebih dari 1. Tabel 2. Uraian biaya produksi dan pendapatan usahatani bawang merah Biaya Panen dan pasca panen Jumlah bawang merah yang dihasilkan Laba Pendapatan - pengeluaran Jurnal Teknik Industri HEURISTIC, Vol. 17 No. 1, Hal. 43-54 51 Analisis finansial usahatani bawang merah dilakukan dengan menggunakan analisis kelayakan net present value NPV dengan luasan 30 ha, internal rate of return, periode pengembalian dan analisis titik impas break event point. Nilai suku bunga yang digunakan dalam perhitungan IRR sebanyak 10 % karena bunga untuk usaha kecil rata-rata mendekati – 10,5% Otoritas Jasa Keuangan, 2019. Tingkat diskonto ini didasarkan pada suku bunga pinjaman untuk usaha kecil yang berlaku saat ini dengan bunga efektif di beberapa bank. Pada tabel 3 menunjukkan bahwa IRR positif didapatkan setelah periode ke 2 sebesar 15,19% yang melebihi suku bunga diskonto 10%. Perhitungan NPV dan IRR menggunakan cashflow yang didapatkan dari proyeksi pendapatan dan biaya produksi. Pada tahun awal biaya asset dan peralatan dimasukkan sehingga total pengeluaran sedangkan pada tahun kedua dan seterusnya hanya dimasukkan biaya produksi Rp. Jika periode hitungan selama 5 periode maka hasil IRR menunjukkan 15,19% pada periode kedua menunjukkan bahwa usaha ini layak dijalankan. Berdasarkan hasil perhitungan NPV sebesar Rp. pay back period periode pengembalian sebanyak 3,7 periode, dan break event point titik impas pada kapasitas produksi kg atau 32,6 ton yang setara dengan hasil penjualan sebesar Rp. Tabel 3. Perhitungan Internal Rate of Return Aspek Sosial Ekonomi Usaha bawang merah melibatkan beberapa pihak yang membantu dalam pelaksanaan operasional dan kebijakan. Pihak yang terlibat dalam usaha tani adalah kelompok tani, ketua kelompok tani, Dinas Pertanian Kota Gajah, Ketua Camat Kota Gajah dan perbankan. Masing masing kampung mempunyai kelompok tani dengan seorang ketua kelompok. Dinas pertanian bekerjasama dengan kelompok tani mengadakan kegiatan penanaman dan perawatan tanaman untuk jenis varietas baru. Camat bertanggungjawab dalam pengawasan program untuk peningkatan usaha tani bawang merah dan program pengembangan hardskill petani bawang merah. Dalam pihak yang berkepentingan dari usaha tani bawang merah pada gambar 2. Analisis Usaha Tani Bawang Merah dalam Aspek Teknis… 52 Ketua Kelompok Tani PetaniPengumpulCamatPedagang eceranStakeholder PerbankanDinas PertanianKelompok TaniGambar 2. Stakeholder dalam pengembangan usaha tani bawang merah di Kecamatan Kota Gajah Para petani di Kota Gajah menyatakan bahwa peningkatan kesempatan peluang pekerjaan meningkat setelah penanaman bawang merah. Bawang merah memiliki arus perputaran yang lebih cepat dibandingkan padi dengan penghasilan 4 kali lebih banyak dibandingkan padi dengan luasan lahan yang sama. Jumlah kerjasama yang telah terjalin oleh petani di Kecamatan Kota Gajah diantaranya adalah kerjasama untuk pembinaan petani bawang merah oleh Bank Indonesia, kerjasama untuk varietas unggul dengan salah satu universitas di Lampung, kerjasama untuk penyediaan bibit dengan dinas pertanian dan pengiriman petani ke sentra usaha tani bawang merah di luar provinsi Lampung. Jumlah petani yang telah bergabung sebanyak 30 orang yang aktif setiap musim dan total hingga 120 orang yang masih memiliki minat terhadap usaha tani bawang merah. Aspek sosial yang berkembang di Kecamatan Kota Gajah yaitu peningkatan kerjasama dengan pemerintah kabupaten. Terdapat program pelatihan baik studi banding, pembinaan dan fasilitas yang diterima petani setiap tahun dari pemerintah kabupaten. Peningkatan pengetahuan petani dalam teknologi pembudidayaan bawang merah memberikan dampak pada minat untuk bekerja di daerah. Usaha ini dapat menarik pemuda yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri untuk kembali membantu pengembangan usaha di desa. Selain itu program binaan Bank Indonesia untuk peningkatan hasil usaha dan pengetahuan tentang sistem pemasaran. Kerjasama tersebut juga telah meningkatkan fasilitas kebutuhan petani berupa sumber air. Petani awalnya mengandalkan air irigasi untuk sumber pengairan, dengan adanya program kerjasama dengan pemerintah setempat maka petani sudah memiliki sumur bor untuk pengairan saat musim panas dengan instalasi pipa ke masing masing lahan. Dari aspek ekonomi, sentra usaha tani ini juga sebagai alternatif solusi untuk penekanan inflasi harga bawang merah. Usaha ini berdampak positif pada kerjasama dalam social coporate responsibility bawang merah dengan perusahaan swasta di sekitar Lampung Tengah dalam pengadaan pupuk dan fasilitas. Hal ini karena Lampung Tengah merupakan sumber usaha perkebunan dan pertanian dengan perusahaan-perusahaan skala besar di Provinsi Lampung. Rata rata pendapatan petani untuk 1 ha lahan bawang merah mendapatkan pendapatan bersih sebesar Rp. per siklus tanam. Peningkatan pendapatan ini 4 kali meningkat dibandingkan pendapatan dari bertanam padi. Peningkatan aktivitas perdagangan dalam usaha tani berkembang karena pasar perdagangan bawang merah di Kecamatan Kota Gajah telah merambah ke Lampung Tengah, Metro dan Sumatera Selatan tepatnya di Martapura. Pengembangan Jurnal Teknik Industri HEURISTIC, Vol. 17 No. 1, Hal. 43-54 53 pasar tersebut berdampak pada pendapatan masyarakat yang bergerak dibidang transportasi jasa logistik serta perdagangan bahan baku pendukung pertanian. KESIMPULAN Penelitian ini memberikan informasi dalam kelayakan usaha tani bawang merah pada aspek teknis, aspek finansial dan sosial ekonomi. Pada aspek teknis, kabupaten Lampung Tengah memiliki iklim yang sesuai dengan iklim yang dibutuhkan untuk penanaman bawang merah. Namu demikian, untuk jenis tanaman bawang merah perlu dilakukan pengolahan lahan yang lebih baik karena kondisi tanah di lahan pertanian kecamatan Kota Gajah memiliki rata-rata pH lebih dari 5, sehingga petani perlu memberikan perlakuan khusus pada tanah sebelum musim tanam. Sumber pengairan lahan di kecamatan Kota Gajah menunjukkan potensi yang baik karena dilewati oleh Daerah Aliran Sungai yang dibangun oleh pemerintah. Selain itu bantuan berupa sumur bor untuk membantu supplai air jika terjadi kekeringan. Pada aspek finansial menunjukkan bahwa rasio R/C renenue cost ratio 1,8 yang mengindikasikan bahwa usaha tani ini layak untuk dijalankan. Nilai NPV menunjukkaan angka yang positidan dan nilai IRR yang melebihi dari tingkat diskonto 10 % serta periode pengembalian 3,7 yang menunjukkan pengembalian modal dapat dilakukan dalam waktu yang tidak lama. Titik impas break event point usaha tani bawang merah ini sebesar 32,6 ton bawang merah. Aspek finansial tersebut masih dapat ditingkatkan bila kemampuan panen bisa mencapai lebih tinggi dari 5,6 ton per hektar. Hal ini dikarenakan petani yang tergabung dalam kelompok tani di kecamatan Kota Gajah sebagian besar merupakan petani pemula. Pasa aspek sosial ekonomi, usaha tani bawang merah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani 4 kali lipat dibandingkan bertanam padi. Selain pendapatan peningkatan kerjasama dengan pemerintah, universitas, perbankan dan perusahaan swasta telah membantu komunitas petani bawang merah untuk peningkatan pengetahuan, skill dan pemasaran bawang. Potensi usaha ini dapat membuka peluang perdagangan anatar daerah di lampung dan luar Lampung. Penelitian ini masih belum mengkaji total benefit dari aspek sosial ekonomi secara kuantitatif. Perlu diadakan penelitian lanjutan untuk menyempurnakan penelitian ini. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Sumatera yang telah mendanai penelitian ini dengan skema Hibah Penelitian Smart tahun 2018. Apresiasi yang tinggi kepada kelompok tani kecamatan Kota Gajah yang telah membantu penulis selama kegiatan survei dan pengumpulan data. Penulis mengucapkan terima kasih atas kerjasama yang baik dengan pejabat Kecamatan Kota Gajah , Lampung Tengah untuk semua data dan informasi yang dibutuhkan selama penelitian. Analisis Usaha Tani Bawang Merah dalam Aspek Teknis… 54 DAFTAR PUSTAKA Al Nasser, et al. 2014. The Effect of using break event point in planning, controlling and decision making in the Industrial Jordanian Industries. International Journal of Academic Research in Bussiness and Social Sciences. Volume 4, Number 5. Badan Ketahanan Pangan, 2019. Statistik Badan Ketahanan Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Tengah, 2014. Kota Gajah dalam angka 2019. Bank Indonesia, 2017. Ringkasan eksekutif komoditas produk jenis usaha unggulan Usaha Mikro Kecil dan Menengah tahun 2017 di Provinsi Lampung. Diseminasi penelitian. Lampung. Bosma, Roel H,et al. 2017. The financial feasibility of producing fish and vegetables through aquaponics. Aquaculture Engineering. Volume 76 part B. 146-154. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lampung Tengah. 2014. Gambaran geologi dan jenis tanah Lampung Tengah. Heni, dkk. 2019. The feasibility and farmer perception of True Shallot Seed technology in Sigi District, Central Sulawesi, Indonesia. Asian Journal of Agriculture Volume 3, Number 1 16-21. Inagri, 2017. Peta sebaran komoditas bawang Diakses 21 September 2019. Nurasa, Tjetjep, Darwis, Valeriana. 2007. Analisis Usaha Tani dan Keragaan Marjin Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes. Jurnal akta Agrosia Vol. 10 hlm 40 – 48. Otoritas Jasa Keuangan. 2019. Suku bunga dasar kredit posisi akhir oktober 2019. Diakses 30 Oktober 2019. Rukmana,Rahmat, Yudirachman, H. 2018. Sukses budidaya bawang merah di Pekarangan dan Perkebunan. Andi Publisher. Sembiring, Asma, dkk. 2018. Kelayakan Finansial Produksi True Shallot Seed di Indonesia Studi Kasus Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Jurnal Hortikultua Vol. 28 No. 2, Desember 2018 289-298. United Nations Industrial Development Organization. 2017. Agribussiness and Human Capital Diakses 25 Oktober 2019. Zhao, Jiang, Li, A., Wang, L., 2016. Economic analysis of waste-to energy industry in China. Waste Manage. 48, 604–618. Feliks Arfid GuampeJoin HengkengNovi Maryam LempaoYames SidoThe farming sector is an important part of Indonesia’s national development due to its availability of foodstuffs, industrial resources, bio-energy, labor absorption, and income source for the rural populace. The horticultural practices, such as farming vegetables, fruits, medicinal herbs and ornamental plants, are strategic subsectors in the progression of the national and regional farming industry. This study aims to determine the performance of farming and to compare the income of horticultural farming of cabbage and shallots in the Poso Regency. A combined method is utilized in this research. Qualitative data analysis will descriptively portray the production and processing stages, cost, market access, and farmers’ income, while quantitative analysis will calculate the profit and Return-Cost Ratio. The research shows that farmers’ revenue depends on the size of land they possess. After a planting season, the net income of shallot farmers is between Rp and whereas cabbage farmers earn a total net income between Rp and Rp This demonstrates that horticultural farming, namely shallot cultivation, is more profitable than cabbage. Heni SP RahayuMUCHTAR MUCHTARSaidah SaidahRahayu HSP, Muchtar, Saidah. 2019. The feasibility and farmer perception of true shallot seed technology in Sigi District, Central Sulawesi, Indonesia. Asian J Agric 3 16-21. Shallot is one of horticultural commodities that plays a significant role in both national and regional economy. A fluctuating supply of shallot influences the inflation level. Shallot production is currently still facing many problems, including high production cost. The high shallot production cost mostly goes to expenses for labor and seed while Indonesian shallot is mainly produced from the bulbs seed. This high-cost production causes a lower shallot competitiveness. Therefore, introduction of True Shallot Seed TSS technology, which lowers the cost for shallot seed, could be an ideal option to improve the shallot competitiveness in Indonesia. However, the shallot farming feasibility and the farmer’s perception of this technology are two critical aspects that need to be considered in the adoption of this new technology. This research aimed to study the potency of true shallot seed development in Central Sulawesi based on the TSS’s farming feasibility and farmer perception on TSS. The research was conducted in Sigi District, Central Sulawesi. The results showed that the farming of shallot using TSS was feasible, and within productivity, the Revenue-Cost Ratio was while the Benefit-Cost Ratio was The perception was examined based on three aspects namely technical, economic, and social aspects. The results showed that farmers were interested in planting true seed of shallot based on its high productivity, lower production cost, and market acceptance of the product; while in the social aspect, the extension and farmer group’s support still need to be improved for development of ZhaoGui-Wu JiangAng LiLing WangThe generation of municipal solid waste is further increasing in China with urbanization and improvement of living standards. The "12th five-year plan" period 2011-2015 promotes waste-to-energy technologies for the harmless disposal and recycling of municipal solid waste. Waste-to-energy plant plays an important role for reaching China's energy conservation and emission reduction targets. Industrial policies and market prospect of waste-to-energy industry are described. Technology, cost and benefit of waste-to-energy plant are also discussed. Based on an economic analysis of a waste-to-energy project in China Return on Investment, Net Present Value, Internal Rate of Return, and Sensitivity Analysis the paper makes the Effect of using break event point in planning, controlling and decision making in the Industrial Jordanian IndustriesAl NasserAl Nasser, et al. 2014. The Effect of using break event point in planning, controlling and decision making in the Industrial Jordanian Industries. International Journal of Academic Research in Bussiness and Social Sciences. Volume 4, Number 5. Badan Ketahanan PanganBadan Ketahanan PanganBadan Ketahanan Pangan, 2019. Statistik Badan Ketahanan Pangan. Kementerian Pertanian. financial feasibility of producing fish and vegetables through aquaponicsBosmaH RoelBosma, Roel H,et al. 2017. The financial feasibility of producing fish and vegetables through aquaponics. Aquaculture Engineering. Volume 76 part B. sebaran komoditas bawang merahInagriInagri, 2017. Peta sebaran komoditas bawang Diakses 21 September Usaha Tani dan Keragaan Marjin Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten BrebesTjetjep NurasaDarwisValerianaNurasa, Tjetjep, Darwis, Valeriana. 2007. Analisis Usaha Tani dan Keragaan Marjin Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes. Jurnal akta Agrosia Vol. 10 hlm 40 bunga dasar kredit posisi akhir oktober 2019. Diakses 30 OktoberOtoritas Jasa KeuanganOtoritas Jasa Keuangan. 2019. Suku bunga dasar kredit posisi akhir oktober 2019. Diakses 30 Oktober budidaya bawang merah di Pekarangan dan PerkebunanRahmat RukmanaRukmana,Rahmat, Yudirachman, H. 2018. Sukses budidaya bawang merah di Pekarangan dan Perkebunan. Andi Finansial Produksi True Shallot Seed di Indonesia Studi Kasus Sumatera UtaraAsma SembiringSembiring, Asma, dkk. 2018. Kelayakan Finansial Produksi True Shallot Seed di Indonesia Studi Kasus Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Jurnal Hortikultua Vol. 28 No. 2, Desember 2018 289-298.
. 15 305 443 445 129 221 240 308
PeralatanBisnis. Agar bisa memulai bisnis budidaya bumbu rempah yang satu ini, kamu akan membutuhkan beberapa peralatan seperti pengadaan bibit lada perdu, gerobak dorong, timbangan, cangkul, pompa air, dll. Semakin banyak alat yang kamu sediakan untuk kebutuhan budidaya lada perdu, semakin besar peluang panen yang maksimal.p>The objectives of this research are 1 to analyze the characteristics of farmers and the performance of shallot farming and 2 to analyze the profitability of shallot farming in production centers in Java. The research was conducted in Cirebon, Brebes, and Tegal regency with the number of respondents each of 40 farmers. Farm profitability level indicated by R/C ratio in every season rainy season, first dry season and second dry season during 2013/2014. The results showed that shallot farming in Cirebon, Brebes, and Tegal feasible and profitable to cultivate in every season. Farmers in Cirebon had the biggest gain in the second dry season of Rp 47 million per hectare with R/C of Farmers in Brebes had the biggest gain in the first dry season amounted to Rp 23 million per hectare with R/C of Farmers in Tegal had the biggest gain in the rainy season of Rp 31 million per hectare with R/C of 1 maka usaha layak dilaksanakan b. R/C < 1 maka usaha tidak layak dilaksanakan c. R/C = 1 maka usaha impas tidak untung maupun rugi HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Bawang Merah Karakteristik dari masing-masing petani berbeda-beda dan dapat mempengaruhi keragaan usahatani dari aspek teknik budidaya sehingga akan berpengaruh juga terhadap produksi yang dihasilkan. Karakteristik petani Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 252 responden yang dianggap penting untuk diketahui diantaranya umur, tingkat pendidikan, status usahatani, pengalaman bertani, status kepemilikan lahan, luas lahan dan pola tanam. Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar petani berada dalam kisaran umur 40-59 tahun. Sebaran umur petani di Kabupaten Cirebon dan Brebes relatif sama yaitu paling banyak pada rentang usia 40-49 tahun, sedangkan di Kabupaten Tegal sebaran umur petani terbesar pada kisaran umur 50-59 tahun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon dan Brebes masih dilakukan oleh petani pada usia produktif. Usia produktif adalah usia yang paling tepat untuk menjalankan aktifitas-aktifitas bekerja seperti bertani karena secara fisik masih baik, memiliki semangat tinggi dan adanya kewajiban untuk menghidupi keluarga. Sementara itu, petani di Kabupaten Tegal ternyata sudah melewati masa produktif karena sebagian besar petani berusia di atas 50 tahun. Dilihat dari tingkat pendidikan formal, pendidikan petani sangat beragam mulai dari sekolah dasar SD sampai lulusan perguruan tinggi. Akan tetapi masih ditemui petani yang tidak menyelesaikan masa studi sekolah dasarnya, bahkan ada yang tidak sekolah sama sekali. Petani dengan pendidikan sekolah dasar relatif lebih banyak jumlahnya di Kabupaten Cirebon dan Tegal. Sementara itu, di Kabupaten Brebes petani didominasi oleh petani dengan tingkat pendidikan sekolah menengah atas SMA. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir petani dan tingkat penyerapan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tabel 2. Karakteristik Petani Bawang Merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal Pengalaman Bertani tahun Sumber PKHT, 2014 Diolah Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 253 Pengalaman bertani petani bawang merah di Kabupaten Brebes relatif lebih lama daripada petani di Kabupaten Cirebon dan Tegal. Pengalaman petani bawang merah di Kabupaten Brebes dalam melakukan usahatani bawang merah antara 11-30 tahun sedangkan di Kabupaten Cirebon dan Tegal sebagian besar berkisar antara 1-10 tahun. Usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes relatif lebih lama dikembangkan sehingga banyak petani yang sudah lama membudidayakan bawang merah baik secara mandiri maupun dari usaha turun temurun orang tua. Penguasaan lahan untuk budidaya bawang merah relatif kecil yaitu masih dibawah satu hektar. Sebagian besar petani di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal mengusahakan bawang merah pada lahan dibawah 0,5 hektar. Status kepemilikan lahan didominasi oleh lahan milik sendiri untuk di Kabupaten Brebes dan Tegal. Sementara itu, di Kabupaten Cirebon didominasi oleh lahan sewa. Biaya sewa lahan di ketiga lokasi penelitian bervariasi. Rata-rata sewa lahan per tahun di Kabupaten Cirebon sebesar Rp di Kabupaten Brebes Rp dan di Kabupaten Tegal Rp Keseluruhan lahan yang dimiliki petani responden di tiga lokasi penelitian merupakan lahan sawah dengan irigasi konvensional dan semi teknis. Keragaan Usahatani Bawang Merah Budidaya bawang merah yang dilakukan oleh petani di tiga lokasi penelitian sebagian besar dilakukan secara monokultur. Akan tetapi, ada beberapa petani yang juga melakukan tumpangsari dengan tanaman lain seperti cabai atau terong. Dalam satu tahun, rata-rata petani menanam bawang merah 2-3 kali dalam setahun karena umur panennya yang singkat yaitu 55-60 hari. Penanaman bawang merah di ketiga lokasi penelitian banyak dilakukan di daerah dataran rendah. Menurut Putrasamedja 2010, ketinggian lokasi penanaman bawang merah yang ideal berkisar antara 4-300 meter diatas permukaan laut. Pada ketinggian ini, produksi yang dihasilkan bisa optimum dan umur panennya lebih genjah. Di Kabupaten Tegal, budidaya bawang merah dilakukan tidak hanya di daerah dataran rendah tetapi juga pada lahan dataran tinggi. Di dataran tinggi umur panen bawang merah lebih lama yaitu 90 hari. Petani di dataran tinggi membudidayakan bawang merah hanya satu kali dalam satu tahun. Hal ini dikarenakan petani juga menanam sayuran lain seperti kubis, bawang daun, cabai, dan sebagainya. Petani mempertimbangkan ketersediaan air dalam melakukan penanaman bawang merah karena bawang merah merupakan tanaman yang membutuhkan banyak air. Petani di lokasi penelitian menanam bawang merah pada musim hujan dan musim kemarau I dimana pada musim ini ketersediaan air melimpah. Namun sebagian besar petani menanam pada musim kemarau I karena pada musim hujan petani lebih memilih menanam padi. Beberapa petani juga menanam pada musim kemarau II apabila air untuk irigasi cukup tersedia. Pada saat musim kemarau, apabila tidak terdapat air irigasi, petani masih bisa menanam bawang merah dengan menggunakan irigasi dari sumur pompa yang dibuat oleh petani. Jika ketersediaan air irigasi tidak memadai maka lahan tersebut tidak ditanami bawang merah. Petani akan menanaminya dengan tanaman jagung atau membiarkan bera sampai musim hujan tiba. Tanaman bawang merah merupakan tanaman hortikultura yang sangat peka terhadap hujan dan kekeringan Widyantara dan Yasa 2013. Petani menanam bawang merah pada bulan Oktober/November, April/Mei, dan Juni/Juli, dimana pada bulan-bulan ini intensitas hujan tidak tinggi. Menurut Purba 2014, penanaman pada bulan Juli-September merupakan waktu yang terbaik yang dapat memberikan hasil optimal bawang merah, sedangkan penanaman pada bulan Januari-Februari merupakan musim terburuk. Secara umum pola tanam yang ditemukan di tiga lokasi penelitian hampir sama yaitu sebagai berikut 1. Bawang Merah - Bawang Merah - Bawang Merah - Jagung 2. Padi - Bawang Merah - Bawang Merah - Bera Produksi bawang merah yang diusahakan petani bervariasi antar daerah dan antar musim Tabel 3. Kabupaten Cirebon memiliki produktivitas bawang merah yang lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Brebes dan Tegal. Kabupaten Brebes memiliki produktivitas bawang merah terendah dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Produktivitas bawang merah di Kabupaten Cirebon berkisar antara 11,3-14,1 ton/ha. Produktivitas bawang merah di Kabupaten Brebes berkisar antara 8,2-8,8 ton/ha sedang di Kabupaten Tegal produktivitasnya lebih tinggi yaitu berkisar antara 8,7-9,8 ton/ha. Rendahnya produktivitas bawang merah di Kab. Brebes diduga karena intensitas penanaman Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 254 Tabel 3. Produktivitas Bawang Merah Per Musim di Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal Musim Tanam Tahun 2013-2014 Sumber PKHT, 2014 Diolah bawang merah yang relatif lebih sering dibanding kabupaten lain. Tingginya intensitas penanaman bawang merah pada lahan yang sama menyebabkan kesuburan lahan berkurang karena budidaya bawang merah juga intensif dalam penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia. Dilihat berdasarkan musim, produktivitas bawang merah terbesar terjadi pada musim kemarau. Di Kabupaten Cirebon dan Tegal, produktivitas tertinggi dicapai pada musim kemarau II yaitu sebesar 14,1 ton/ha untuk Kabupaten Cirebon dan 9,8 ton/ha untuk Kabupaten Tegal. Sementara itu, produktivitas tertinggi di Kabupaten Brebes dicapai pada musim kemarau I dengan produktivitas sebesar 8,9 ton/ha. Produktivitas bawang merah terendah di ketiga lokasi penelitian dicapai pada musim hujan. Pada musim hujan, bawang merah banyak terkena penyakit yaitu layu daun dengan gejala daun bawang merah layu secara tiba-tiba setelah terkena air hujan. Menurut petani penyakit ini sangat sering menyerang ketika musim hujan dan belum ada alternatif cara mengatasinya. Hal ini yang menyebabkan produksi bawang merah pada musim penghujan menurun. Hasil panen bawang merah yang dihasilkan oleh petani sebagian besar dijual sebagai bawang merah konsumsi. Diantara hasil produksi tersebut, petani juga menyisihkan sebagian hasil panen untuk dijadikan benih pada musim tanam selanjutnya. Rata-rata petani di Kabupaten Cirebon menyisihkan 19 persen hasil panennya untuk disimpan menjadi benih, petani di Kabupaten Brebes menyisihkan 28 persen dan petani di Kabupaten Tegal menyisihkan 38 persen. Benih yang digunakan berupa umbi bawang merah yang sudah mengalami penyimpanan selama 2 bulan. Petani membutuhkan benih bawang merah rata-rata sebanyak 1,64 ton/ha. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes 2011, jumlah kebutuhan bawang merah per hektar mencapai 1,5 ton. Jumlah kebutuhan benih ini bervariasi tergantung dengan besar kecilnya umbi bawang merah yang digunakan untuk benih. Petani bawang merah di Kabupaten Brebes dan Tegal menggunakan benih seluruhnya dari varietas lokal. Petani di Kabupaten Brebes menggunakan benih lokal varietas Bima Brebes. Petani di Kabupaten Tegal menggunakan varietas Bima Brebes dan varietas Sumenep. Varietas Bima Brebes banyak digunakan petani bawang merah di dataran rendah, sedangkan varietas Sumenep banyak digunakan petani bawang merah di dataran tinggi. Petani di Kabupaten Cirebon menggunakan benih varietas lokal dan juga benih impor. Benih varietas lokal yang digunakan adalah varietas Bima Brebes dan verietas Timur. Varietas Bima Brebes relatif lebih banyak digunakan oleh petani dibandingkan varietas Timur. Sementara itu, benih impor yang digunakan petani adalah varietas Ilocost dan Super Philip. Penggunaan benih impor saat ini sudah sangat jarang dilakukan oleh petani di Kabupaten Cirebon yang menggunakan benih impor karena ketersediaan benih impor terbatas dan pemasarannya pun juga terbatas. Selain itu, petani juga lebih menyukai bawang merah lokal daripada impor karena bawang merah lokal lebih mudah dalam pemasarannya dan lebih disukai oleh masyrakat karena memiliki aroma dan rasa yang lebih baik daripada bawang merah impor. Hal tersebut senada dengan hasil penelitian Basuki 2009a yang menyebutkan bahwa dalam hal daya hasil, jumlah anakan, bentuk umbi, ukuran umbi, warna umbi, dan aroma varietas lokal Bima Brebes lebih disukai petani dibanding varietas impor. Selain itu, varietas lokal Bima Brebes lebih mudah dijual atau dipasarkan, dapat dibibitkan lagi, dan dapat ditanam pada musim kemarau maupun hujan. Sumber benih varietas lokal yang digunakan petani sebagian besar berasal dari benih yang dihasilkan petani sendiri dari penanaman sebelumnya. Ada pula beberapa petani yang membeli ke petani lain. Menurut Basuki 2010, Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 255 benih hasil produksi petani kualitasnya cukup baik yang tercermin dari daya tumbuh 99,1%, tingkat infeksi oleh penyakit tular benih 1,7%, dan persentase kemurnian varietas 99,3%. Banyaknya petani yang memproduksi sendiri benih bawang merah disebabkan oleh harga benih yang sangat mahal, pembuatan benih tidaklah sulit serta produksinya tidak berbeda jauh dari benih yang baru Darwis et al 2004. Petani menggunakan pupuk organik maupun kimia dalam budidaya bawang merah. Pupuk organik yang digunakan petani berasal dari pupuk organik pabrikan. Rata-rata penggunaan pupuk organik ini sebesar 1,3 ton/ha. Petani lebih banyak menggunakan pupuk organik pabrikan daripada pupuk kandang. Hal ini dikarenakan kemudahan dalam memperoleh pupuk organik tersebut. Pupuk organik sangat mudah diperoleh karena tersedia di kios-kios pupuk. Penggunaan pupuk kimia pada budidaya bawang merah di tiga lokasi penelitian juga cukup beragam. Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes 2011 dalam budidaya bawang merah diperlukan pupuk diantaranya SP36/TSP sebanyak 300 kg/ha, KCl sebanyak 120 kg/ha, Urea sebanyak 120 kg/ha, ZA sebanyak 220 kg/ha, Kamas sebanyak 120 kg/ha, dan NPK DAP sebanyak 200 kg/ha. Hasil penelitian Tabel 4 menunjukkan petani menggunakan pupuk urea, KCl dan NPK DAP lebih dari anjuran yang disarankan. Sementara itu, petani menggunakan pupuk SP36/TSP, ZA dan Kamas masih dibawah dosis anjuran menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes 2011. Pemupukan sebagian besar dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada 10, 20, dan 30 hari setelah tanam. Obat-obatan atau pestisida yang digunakan oleh petani terdiri dari insektisida, fungisida, dan herbisida. Insektisida banyak digunakan pada musim kemarau karena pada musim ini serangan hama seperti ulat relatif lebih banyak. Penggunaan insektisida pada usahatani bawang merah masih dilakukan secara intensif di ketiga lokasi penelitian. Penyemprotan insektisida mulai dilakukan pada 10 hari setelah tanam dengan frekuensi penyemprotan dua atau tiga hari sekali. Penyemprotan akan terus dilakukan sampai bawang merah menjelang panen. Hal ini dilakukan petani untuk mencegah serangan ulat daun yang banyak menyerang tanaman bawang merah. Penggunaan insektisida yang intensif ini dipicu karena adanya resistensi pada hama ulat yang menyerang bawang merah sehingga penggunaan insektisida dilakukan secara berlebihan Moekasan dan Basuki 2007. Selain itu menurut Basuki 2009b, petani bawang merah juga memiliki keterbatasan pengetahuan dalam mengenali pestisida yang sesuai untuk pengendalian hama ulat sehingga penggunaan pestisida sangat beragam. Budidaya bawang merah masih sangat membutuhkan banyak tenaga kerja manusia dari proses pengolahan lahan sampai pemanenan. Kebutuhan tenaga kerja ini diperoleh dari tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja di luar keluarga. Tenaga kerja dalam keluarga digunakan pada kegiatan pemeliharaan seperti penyemprotan, penyiangan, penyiraman, dan pemupukan. Sementara itu tenaga kerja untuk kegiatan pengolahan lahan, penanaman, dan pemanenan lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar. Kegiatan pengolahan lahan sampai siap tanam dikerjakan dengan dengan menggunakan sistem upah harian atau sistem borongan. Rata-rata kebutuhan tenaga kerja usahatani bawang merah di Brebes 390 HOK, di Cirebon 246 HOK, dan di Tegal 234 HOK. Tabel 4. Jumlah Penggunan Pupuk pada Budidaya Bawang Merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal Musim Tanam Tahun 2013-2014 Sumber PKHT, 2014 Diolah Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 256 Jam kerja untuk buruh tani baik pria maupun wanita di ketiga lokasi penelitian adalah 5 jam per hari dimulai dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang. Upah tenaga kerja di Kabupaten Cirebon dan Brebes relatif sama. Upah tenaga kerja pria rata-rata Rp sedangkan untuk tenaga kerja wanita Rp Petani biasanya juga mengeluarkan biaya konsumsi untuk tenaga kerja sebesar Rp per hari. Di Kabupaten Tegal, upah tenaga kerja untuk buruh tani daerah dataran rendah berbeda dengan upah buruh tani di dataran tinggi. Upah buruh tani daerah dtaran tinggi relatif lebih murah. Upah tenaga kerja buruh tani untuk daerah dataran rendah rata-rata Rp - untuk pria dan Rp - untuk wanita. Sementara itu, upah tenaga kerja buruh tani untuk daerah dataran tinggi rata-rata Rp - untuk pria dan Rp - untuk wanita. Profitabilitas Usahatani Bawang Merah Dua komponen penting dalam menghitung profitabilitas usahatani bawang merah adalah penerimaan dan biaya usahatani bawang merah. Dalam penelitian ini, komponen biaya yang dihitung merupakan biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani biaya tunai. Biaya usahatani tersebut dikelompokkan menjadi tiga yaitu a biaya sarana produksi, b biaya tenaga kerja dan c biaya lainnya. Biaya sarana produksi terdiri dari biaya untuk pembelian benih, pupuk, dan obat-obatan. Biaya tenaga kerja merupakan jumlah upah yang dibayarkan terhadap penggunaan tenaga kerja di luar keluarga baik berupa uang tunai maupun natura. Biaya lain-lain mencakup biaya iuran irigasi, biaya bahan bakar mesin pompa, biaya sewa lahan, pajak tanah dan biaya lain yang terkait. Komponen biaya dalam usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal dapat dilihat pada Tabel 5. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa pengeluaran biaya usahatani bawang merah di ketiga lokasi bervariasi. Pengeluaran usahatani di Kabupaten Cirebon relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kabupaten Brebes maupun Tegal. Rata-rata biaya usahatani yang dikeluarkan sebesar Rp Sementara itu, rata-rata biaya usahatani yang dikeluarkan di Kabupaten Brebes sebesar Rp dan di Kabupaten Tegal sebesar Rp Tingginya biaya usahatani di Kabupaten Cirebon salah satunya dipengaruhi oleh tingginya harga benih bawang merah. Harga benih bawang merah di Kabupaten Cirebon relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan Kabupaten Brebes atau Tegal. Rata-rata harga benih bawang merah di Kabupaten Cirebon Rp di Kabupaten Brebes Rp dan di Kabupaten Tegal Rp Pengeluaran terbesar usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon terjadi pada musim kemarau II. Hal ini dikarenakan pengeluaran untuk tenaga kerja di luar keluarga dan biaya bahan bakar untuk pengairan pompa lebih tinggi dibandingkan musim lainnya. Sementara itu, di Kabupaten Brebes dan Tegal, pengeluaran usahatani terbesar terjadi pada musim hujan. Hal ini bisa terjadi karena di kedua lokasi tersebut pengeluaran untuk benih pada musim hujan cenderung lebih besar dibandingkan musim lainnya. Harga benih pada musim kemarau cenderung lebih mahal jika dibandingkan dengan musim lainnya. Selain itu, kebutuhan tenaga kerja luar keluarga juga meningkat terutama untuk kegiatan perawatan sehingga pengeluaran untuk tenaga kerja relatif besar. Komponen pengeluaran terbesar dalam usahatani bawang merah adalah untuk sarana produksi berkisar antara 51,19-63,80 persen. Dari komponen biaya sarana produksi ini, pembelian benih merupakan komponen pengeluaran yang paling besar. Dilihat berdasarkan pengeluaran total maka pengeluaran untuk benih berkisar antara 27,46-44,36 persen dengan rata-rata sebesar 37,80 persen. Selain biaya pembelian benih, upah tenaga kerja juga menjadi komponen pengeluaran terbesar dalam usahatani bawang merah. Pengeluaran untuk upah tenaga kerja berkisar antara 31,75-41,91 persen dengan rata-rata sebesar 35,55 persen. Hasil penelitian ini menunjukkan pola yang sama dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pengeluaran terbesar pada usahatani bawang merah digunakan untuk benih dan tenaga kerja Nurasa dan Darwis 2007; Asih 2009; Mayowani dan Darwis 2010; Purmiyati 2002. Perbedaan pada struktur biaya menunjukkan adanya perbedaan dalam penggunaan sarana produksi pertanian, perbedaan harga input dan perbedaan tingkat upah antar lokasi. Faktor kondisi alam seperti intensitas serangan hama dan penyakit atau kekeringan juga berpengaruh terhadap pengeluaran usahatani. Akan tetapi pola proporsi pengeluaran pada ketiga lokasi tersebut relatif sama yaitu proporsi terbesar untuk sarana produksi, kedua untuk tenaga kerja dan ketiga biaya lainnya. Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 257 Tabel 5. Struktur Biaya Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal Musim Tanam Tahun 2013-2014 Sumber PKHT, 2014 Diolah Tabel 6. Profitabilitas Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal Musim Tanam Tahun 2013-2014 Sumber PKHT, 2014 Diolah Penerimaan usahatani bawang merah pada penelitian ini merupakan hasil kali dari jumlah bawang merah yang dijual petani dengan harga yang berlaku yang diterima petani. Bawang merah yang dihasilkan oleh petani ada beberapa yang disisihkan untuk benih. Oleh karena itu dalam penghitungan penerimaan, output bawang merah merupakan jumlah bawang merah yang dijual oleh petani. Penerimaan usahatani bawang merah terbesar ada di Kabupaten Cirebon dengan rata-rata penerimaan Rp Penerimaan usahatani tertinggi dicapai pada musim kemarau II dimana pada musim ini produksi yang dijual relatif lebih banyak dan harga jualnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan musim lainnya. Penerimaan usahatani di Kabupaten Tegal merupakan terbesar kedua dengan rata-rata penerimaan sebesar Rp Penerimaan usahatani tertinggi dicapai pada musim hujan dimana pada musim ini produksi yang dijual relatif lebih sedikit dibandingkan dengan musim lainnya namun dengan harga jual yang jauh lebih besar. Kabupaten Brebes memiliki rata-rata penerimaan yang lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Cirebon dan Tegal. Rata-rata penerimaan usahatani di Brebes sebesar Rp Rendahnya penerimaan yang diperoleh petani di Kabupaten Brebes ini dikarenakan produksi yang dijual relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan Kabupaten Cirebon maupun Tegal. Penerimaan usahatani Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 258 tertinggi dicapai pada musim kemarau I dimana pada musim ini produksi yang dijual relatif lebih banyak dibandingkan dengan musim lainnya dan harga jual juga cukup tinggi. Rata-rata keuntungan usahatani yang diperoleh petani di Kabupaten Cirebon lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten Brebes dan Tegal. Rata-rata keuntungan usahatani di Kabupaten Cirebon sebesar Rp di Kabupaten Tegal Rp dan di Kabupaten Brebes Rp Perbedaan keuntungan di setiap daerah ini dikarenakan adanya variasi tingkat produktivitas, harga produk, dan biaya usahatani di masing-masing daerah. Usahatani bawang merah pada musim hujan, musim kemarau I dan musim kemarau II secara umum semuanya menguntungkan. Ketiga lokasi memiliki pola yang berbeda. Keuntungan usahatani terbesar dicapai pada musim kemarau II untuk Kabupaten Cirebon, musim kemarau I untuk Kabupaten Brebes, dan musim hujan untuk Kabupaten Tegal. Kecenderungan di beberapa daerah lainnya menunjukkan bahwa keuntungan usahatani bawang merah terbesar dicapai pada musim kemarau. Hasil penelitian Widyantara dan Yasa 2013 menunjukkan bahwa pendapatan bersih petani bawang merah di Kintamani, Bali, pada musim hujan Rp lebih kecil daripada musim kemarau Rp Akan tetapi tingkat risiko yang dihadapi petani pada musim kemarau lebih besar daripada musim hujan. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Rachman et al 2004 yaitu keuntungan usahatani bawang merah di Indramayu dan Majalengka tertinggi dicapai pada musim kemarau II karenakan rata-rata produksi dan harga bawang merah pada musim kemarau II lebih tinggi dibanding musim lainnya. Usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal secara finansial layak dan menguntungkan untuk diusahakan pada setiap musim. Nilai R/C yang diperoleh pada setiap musim menunjukkan lebih dari satu yang berarti penerimaan yang diperoleh lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Akan tetapi nilai R/C yang diperoleh di ketiga lokasi penelitian tersebut masih mendekati satu. Hal ini mengindikasikan bahwa gejolak perubahan harga baik harga output maupun harga input akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan usahatani petani bawang merah. Petani rentan mengalami kerugian apabila terjadi lonjakan harga input atau penurunan harga output. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Petani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes dan Tegal masih didominasi pada retang usia produktif yaitu usia 40-59 tahun. Sebagian besar pendidikan petani adalah sekolah dasar. Pengalaman bertani bawang merah petani di Kabupaten Brebes cukup lama yaitu 11-30 tahun sedangkan petani di Kabupaten Cirebon dan Tegal berkisar antara 1-10 tahun. Penguasaan lahan untuk usahatani bawang merah masih dibawah 0,5 hektar yang terdiri dari lahan milik sendiri maupun lahan sewa. Pengeluaran usahatani di Kabupaten Cirebon relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kabupaten Brebes maupun Tegal. Rata-rata biaya usahatani yang dikeluarkan sebesar Rp Sementara itu, rata-rata biaya usahatani yang dikeluarkan di Kabupaten Brebes sebesar Rp dan di Kabupaten Tegal sebesar Rp Komponen pengeluaran terbesar dalam usahatani bawang merah adalah untuk pembelian benih dan upah tenaga kerja. Pengeluaran untuk benih berkisar antara 27,46-44,36 persen dengan rata-rata sebesar 37,80 persen. Pengeluaran untuk upah tenaga kerja berkisar antara 31,75-41,91 persen dengan rata-rata sebesar 35,55 persen. Rata-rata keuntungan usahatani di Kabupaten Cirebon sebesar Rp di Kabupaten Tegal Rp dan di Kabupaten Brebes Rp Usahatani bawang merah di Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal secara finansial layak dan menguntungkan untuk diusahakan pada setiap musim karena nilai R/C yang diperoleh pada setiap musim menunjukkan lebih dari satu. Saran 1. Dalam rangka peningkatan produksi maka pengembangan bawang merah diarahkan pada produksi di luar musim off season dengan cara perakitan varietas tahan musim hujan dan diseminasi varietas tahan musim hujan yang sudah ada. 2. Supaya pasokan bawang merah dalam negeri stabil maka perlu dibuat kalender tanam pada setiap daerah sentra dengan menyesuaikan agroekosistem dan musim serta saling terkoordiasi antara satu daerah dengan daerah yang lain. 3. Penting untuk dilakukan pembinaan dan pembentukan penangkar benih bersertifikat Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 259 yang lebih banyak untuk menghasilkan pasokan benih yang lebih banyak, kontinu, dan berkualitas untuk mengatasi kelangkaan ketersediaan benih dan mengatasi lonjakan harga benih pada musim-musim di luar tanam. DAFTAR PUSTAKA Asih DN. 2009. Analisis karakteristik dan tingkat pendapatan usahatani bawang merah di Sulawesi Tengah. J. Agroland 161 53-59. Asmara R dan Ardhiani R. 2010. Integrasi pasar dalam sistem pemasaran bawang merah. AGRISE 103 164-176 Basuki RS. 2009a. Analisis tingkat preferensi petani terhadap karakterisitik hasil dan kualitas bawang merah varietas lokal dan impor. J. Hort. 192237-248. _________. 2009b. Pengetahuan petani dan keefektifan penggunaan insektisida oleh petani dalam pengendalian ulat Spodoptera exigua Hubn. pada tanaman bawang merah di Brebes dan Cirebon. J. Hort. 194459-474. _________. 2010. Sistem pengadaan dan distribusi benih bawang merah pada tingkat petani di Kabupaten Brebes. J. Hort. 202186-195. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Perkembangan indeks harga konsumen/inflasi. Berita Resmi Statistik No 48/08/Th. XVI, 1 Agustus 2013. Jakarta ID Badan Pusat Statistik. Darwis V, Irawan B, Muslim C. 2004. Keragaan Benih Hortikultura di Tingkat Produsen dan Konsumen Studi Kasus Bawang Merah, Cabai Merah, Kubis, dan Kentang. SOCA 42 1-18 [Deptan] Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah. Jakarta ID Departemen Pertanian. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes. 2011. Standar Operasional Prosedur Budidaya Bawang Merah Allium ascalonicum L. Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Brebes ID Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Brebes. [Kemendag] Kementerian Perdagangan. 2015. Tabel Harga Pokok Kebutuhan Nasional. Diakses di pada hari Selasa, Tanggal 20 Januari 2015 Pukul WIB Nurasa T dan Darwis V. 2007. Analisis usahatani dan keragaan marjin pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes. Jurnal Akta Agrosia 101 40-48. Mayrowani H dan Darwis V. 2010. Perspektif pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Di dalam Suradisastra K, Simatupang P, Hutabarat B, editor. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani; 2009 Okt 14; Bogor, Indonesia. Bogor ID PSEKP. hlm 169-186. Moekasan TK, Basuki RS. 2007. Status resistensi Spodoptera exigua Hubn. pada tanaman bawang merah asal Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal terhadap insektisida yang umum digunakan petani di daerah tersebut. J. Hort. 174343-354 Natawidjaja 2007. Pengembangan komoditas bernilai tinggi high value commodity untuk meningkatkan pendapatan petani. Di dalam Suradisastra K, Yusdja Y, Hutabarat B, editor. Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Mencari Alternatif Arah pengembangan Ekonomi Rakyat. 2007 Desember 04; Bogor, Indonesia. Bogor ID PSEKP. hlm 17-29. Putrasamedja S. 2010. Pengujian beberapa klon bawang merah dataran tinggi. Jurnal Pembangunan Pedesaan 102 86-92. Purba R, Astuti Y. 2013. Paket teknologi bawang merah di luar musim tanam di Pandeglang Banten. AGRITECH 152 105-113. Purba R. 2014. Produksi dan keuntungan usahatani empat varietas bawang merah di luar musim off –season di Kabupaten Serang, Banten. Agriekonomika 31 55-64 Haris F. A., Anna F., dan Netti T. Analisis profitabilitas usahatani … 260 Purmiyati S. 2002. Analisis produksi dan daya saing bawang merah di Kabupaten Brebes Jawa Tengah [tesis]. Bogor ID Institut Pertanian Bogor. [Pusdatin] Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2013. Outlook Bawang Merah. Jakarta ID Departemen Pertanian. Rachman HPS, Supriyati, Saptana, Rachman B. 2004. Efisiensi dan daya saing usahatani hortikultura. Di dalam Saliem HP, Basuno E, Sayaka B, Sejati WK, editor. Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Bogor, Indonesia. Bogor ID PSEKP. hlm 50-82. Sayaka B, Supriatna Y. 2010. Kemitraan pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah kasus PT Indofood Sukses Makmur. Di dalam Suradisastra K, Simatupang P, Hutabarat B, editor. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani; 2009 Okt 14; Bogor, Indonesia. Bogor ID PSEKP. hlm 187-201. Widyantara W, Yasa NS. 2013. Iklim sangat berpengaruh terhadap risiko produksi usahatani bawang merah Allium ascalonicum L. E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata 21 32-37. Winarso B. 2003. Dinamika perkembangan harga hubungannya dengan tingkat keterpaduan antarpasar dalam menciptakan efisiensi pemasaran komoditas bawang merah. Jurnal Ilmiah Kesatuan 41 7-16. ... MIR or contribution margin ratio can be obtained from profit sharing contribution with sales revenue above variable costs Endriansyah et al., 2018. The higher the MIR value, the better the company's condition because the company's ability to cover fixed costs and earn profits will be greater Fuad et al., 2006 and Aldila et al., 2017. According to Mulyadi 1999, if the Margin of Safety MOS is linked to the Margin Income Ratio MIR, this Margin of Safety figure will be directly related to profit, so that the greater the MOS and MIR value of a business, the greater the ability to attempts to make a profit, and vice versa. ...... Based on Table 5 above, it can be explained that the margin income ratio for vanname shrimp cultivation in the Wahana Biru business group is while the average margin income ratio for group members is The higher the value of the Margin Income Ratio MIR, the better the condition of the company because the company's ability to cover fixed costs and earn profits will be greater Fuad et al., 2006 and Aldila et al., 2017. ...Adhiana AdhianaRita ArianiNovi KurniaThe fisheries sector is a sector that plays a very important role in the economy of the community in Bireuen District, Aceh Province because it has great potential for the development of fishery areas. One of the businesses that is developing in the fisheries sector is the pond business, and Bireuen Regency is one of the regions that has consistently developed pond cultivation businesses, especially vannamei shrimp. However, there is a problem in developing vanamei shrimp, namely the price of feed is relatively high compared to the selling price, therefore it is necessary to analyze the profitability of the vanamei shrimp farming business. This study aims to determine the level of profitability obtained by vannamei shrimp farming in tarpaulin ponds in Jangka District, Bireuen Regency. Test result the profitability of the vannamei shrimp business in the Term District of Bireuen Regency to farmers who use tarpaulin ponds who are members of the Wahana Biru business group is that the percentagethe profits obtained by farmers are very profitable with a profitability percentage of following the reference bank interest rate of 12%.... This improvement in living standards can be achieved by increasing farm productivity. To be able to manage their farming efficiently, it is necessary to change the behavior of farmers to be able to farm well and make farming more profitable [13]. In order to improve the standard of living and welfare of the farming community [14], creativity and changes in farmer behavior in farming management are needed to increase productivity and, in the end, will also affect the level of income. ...MarianiAgriculture is one of top best-selling non-oil-and-gas products. However, environmental-related purposes for production, based on the Regulation of Forestry Ministry of Republic of Indonesia No P50/Menhut-II/2010 for the Right to Exploit, not meet the Ecosystem Reforestation Rights. Land degradation means loss of the productive capacity of the soils that has huge risk to food insecurity, loss of ecosystem biodiversity and climate change. In Tapin, one of the most productive agriculture in South Kalimantan Province, dramatic decline in the productivity of croplands can be one of the most important contributors of climate change. The action of Land Degradation Neutrality LDN by adapting innovation has been a solution of reducing vulnerability and increase climate change resilience to combat rising demands for agriculture product and the agricultural production system. Smallholder farmers and rural community need to intensify the production of food for sustainable agriculture and food security, as mentioned in Sustainable Develompent Goals SDGs Goals 15.... On average, farmers used 1,200 kg of seed bulbs. This amount was higher compare to Sumenep District 977 kg per hectare as reported by [24][25][26], but lower than in the Brebes, Tegal, and Cirebon Districts, which was an average of tons per hectare [27]. Several factors determined the differences, namely bulb size, planting methods, and varieties. ... Atman AtmanThe increasing rate of shallot production of Central Java Province for the last ten years was lower than the national rate, indicated the need for new technology development. The study aims to determine the economic feasibility of the newly seedling planting technique in three planting distances 10 x 10 cm, 10 x 15 cm, and 15 x 15 cm. In that case, farmers use seed bulbs. The research was carried out in Padang Village, Tanggungharjo Subdistrict, Grobogan Regency, from August to October 2018. Financial analysis, consisting of BCR, MBCR, break-even point of both production and price, and competitive advantage of the techniques were analyzed. The results showed that the newly seedling technologies and planting distance were able to increase the productivity of shallots ranging from 12,685 to 21,088 kg. At the price of shallot bulbs at IDR 10,000 per kg, 10x10 cm planting distance resulted in the highest profit IDR 180,790,100/ha. It was much higher compared to the farmers' technology IDR 9,299,000/ha. Based on break-even point analysis, seedling planting technology has a tolerance limit of production and prices decreasing between to compared to existing technology Seedling planting technology has a competitive advantage with a net profit ratio of to and a minimum selling price of IDR 3,239 to IDR 3,622 to obtain the same profit as existing technology. Thus, the technology of planting shallot seedlings at a spacing of 10 x 10 cm is recommended to increase the production and profits of shallot farming.... Selanjutnya penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui permasalahan agribisnis bawang merah antara lain Aldila et al. 2015 mengungkapkan budidaya bawang merah lebih produktif dibandingkan dengan budidaya padi. Namun, karena komoditas padi merupakan simbol ketahanan pangan dan kesejahteraan bagi sebagian petani di sentra produksi bawang merah maka petani tetap akan menanam padi saat musim hujan tiba. ...Domestic shallot production generally has met domestic needs. Agricultural development aims to increase the production and income of farmers, especially in Central Sulawesi. One of the mainstay commodities that are expected to increase farmers' income is the local Palu shallot commodity. The purpose of this research is mapping the current business model of UD. Hj. Mbok Sri, analyzing the internal and external conditions of the business and formulating a design for improving its business model. The methods that used in this research are the Business Model Canvas BMC, SWOT and Blue Ocean Strategy BOS. This research was conducted by mapping the latest business models based on the 9 elements that exist in BMC, then it will be followed by a SWOT analysis on each BMC element and determining the strategy to overcome the problems that was existing at UD. Hj. Mbok Sri. Then it will be combined for improving the new business model from UD. Hj. Mbok Sri by using Blue Ocean Strategy’s perspective. The results showed that the alternative strategies that could be pursued in the development of UD. Hj. Mbok Sri can be focussed on customer segments elements, value propositions, channels, customer relationships and key partnerships, namely by optimizing the use of social networks, adding new customer segments and increasing the value proposition. These will have effects on better established customer and partnership relationships. Key activities will run smoothly and the main resources will also be more adequate, so that the flow of income will increase and the cost structure can be managed properly.... Hal ini dikarenakan aktifitas investasi berkorelasi dan interdependensi dengan ekonomi dan kemakmuran masyarakat Yudiatmaja et al., 2020. Oleh karena itu, selain pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui sertifikasi Aldila et al., 2017,pemerintah dalam semua level, terlebih dalam era otonomi daerah, memiliki peranan penting dalam menggaet lebih banyak investor, terlebih investor luar negeri. ...Mariani Mariani Dhani AkbarAdam RohwiyantoSebagai bagian dari nilai langsung pembangunan berkelanjutan, kuantitas pertanian dibutuhkan dalam jumlah besar dengan kualitas dan kontinuitas yang seragam sustainability. Tujuan penelitian ini adalah melihat dan menelaah arah pengembangan wilayah di kabupaten ini nantinya akan menjadi cikal bakal penyusunan rencana aksi kabupaten/ kota di Kalsel untuk mendukung program pembangunan pertanian berbasis korporasi petani agar dapat berjalan efektif dan efisien, terkoordinasi antar provinsi kabupaten dan kota. serasi dalam ketergantungan dan saling mempengaruhi antar daerah di Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif berbentuk elaborasi dari observasi dan studi dokumentasi. Temuan penelitian ini adalah tidak terdapat kemampuan menampung areal jika disejajarkan pada situasi di mana masih terdapat disparitas. Disparitas ini perlu diminimalisir dalam strategi terarah pada pilihan lain dalam pengambilan keputusan pengembangan wilayah pertanian. Kesimpulannya, pemerintah perlu menghilangkan tumpang tindih yang tidak perlu dan perlu untuk menentukan arah pembangunan pertanian berdasar kepada organisasi kelembagaan petani... Research by [5] showed that the varieties of shallots of the hammer valley are feasible but risky. Meanwhile, the results of research conducted by [6] stated that onion farming in 3 planting seasons in three production center districts namely Cirebon, Brebes and Tegal was feasible. In the first harvest season in Trenggamus the farm was declared feasible [7]. ... Triyono Noto WiharjoHastuti SulistyaningsihShallot is a great prospect for farmers in Demak Regency. Shallot farmers in Demak Regency cultivated 2 different varieties which Bauji variety was claimed to be more profitable than the Bima variety. In addition it was known that there were differences in the treatment of the two varieties. The purpose of this study is to analyze feability and production risk of shallot farming. This research was conducted in Pasir Village and Kotakan Village, Demak Regency. Data collection was carried out by direct interview with 50 farmers by census and 50 farmer respondents randomly. To analyze, to use the formula of R / C, and coefficient of variation using the independent sample t-test method in the SPSS application. The results of the research showed that both farms were equally feasible to be cultivated, but the Bauji variety farming had a higher production risk than the bima Rosnaini DagaAbdul SamadPada penelitian ini, penulis melakukan penelitian yang bersifat kualitatif Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci Metode pengumpula data yang digunakan peneliti adalah wawancara, observasi, kepustakaan dan dokumentasi. Hasil penelitian adalah Jenis-jenis risiko yang dihadapi petani pengolah gulah aren di Desa Mengkawani, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Langkat adalah risiko produksi, risiko pembiayaan/biaya, risiko harga/pemasaran dan risiko pendapatan, Risiko produksi dapat diatasi dengan membeli nira aren atau menyewa pohon aren, mengalihkan nira menjadi minuman beralkohol atau disebut dengan tuak yang masih dapat bernilai jual, sistem budidaya tanaman aren mulai diterapkan untuk meningkatkan produksi nira aren. Manajemen risiko pendapatan diatasi melalui manajemen risiko yang bersumber dari risiko produksi, pembiayaan/biaya dan risiko harga/pemasaran itu sendiri, dampak pertumbhan ekonomi dari produksi gula aren terhadap masyarakat desa mengkawani cukup baik dan mengurangi angka kemiskinan dan mengangkat kesjahtraan masyakat. Suswadi SuswadiA PrasetyoThe consumption of organic products has become a new trend that is more environmentally friendly, healthy, and at better prices advantageous for farmers. Furthermore, organic farming reduces the greenhouse effect and global warming by absorbing carbon into the soil. This study aimed to determine the income factors of organic shallot farming and the cultivation efficiency in Boyolali Regency using the descriptive method. A simple random sampling technique was used to obtain the sample, consisting of organic shallot farmers in Cepogo District, Boyolali Regency. The R/C Ratio measured the efficiency of Shallots farming, and multiple linear regression analysis was used to determine the factors that affect farmers’ income. The results showed that the efficiency of organic shallot farming was very good, as evidenced by the R/C ratio of 2,34. Farmers produce their farm inputs to reduce production costs. Factors that affect the income of organic shallot farming include land area, seeds, organic fertilizers, pesticides, and labor. Furthermore, they need improvements on the timeliness of application and how to apply a liquid organic fertilizer to create efficiency in cultivating Suminartika Yosini DelianaHepi HapsariSri FatimahThe low competitiveness of local shallots is caused by the high cost of production, especially for the cost of seeds and labour. The high cost of production causes local selling price is higher when compared to the price of imported shallots. Increasing the competitiveness of shallots need to be done so that the local shallot are competitive in the market. The strategy to increase competitiveness can be through increasing price efficiency allocative. Actually, the efficiency of shallot farming prices in several production centres has not been efficient. Price efficiency can be achieved by minimizing costs at a certain level of output. The purpose of this study was to analyse the factors that influence the production of shallots and the level of optimal use of inputs in shallot production. The research was carried out in Majalengka sub-district, Majalengka district, West Java in October 2021. The research method used is the survey method. The data used consists of primary data and secondary data. Primary data is obtained from sample farmers, farmer samples are taken at simple random sampling. Data analysis used The production function of Cobb Douglas to analyse the factors that affect the production of shallots and the MPV equal to MC equation to determine the optimal use of inputs. The results showed The factors that significantly affect the production of shallots are land and seeds. The use of land and seeds has not been efficient because the land cultivated is relatively narrow and the use of seeds is still below the recommended dose. The optimal use of shallot seeds is 1, kg/ha. The use of fertilizers ZA, urea and pesticides should be reduced because the increasing those input factors will reduce the shallot N ManoppoSudartiAugust PolakitanNorth Sulawesi has the potential for developing shallots, but the development has not been maximized. The study aims to analyze the internal and external factors in shallot farming and formulate the strategies that can be implemented in the development. The research was conducted in Tonsewer Village, West Tompaso, Minahasa, North Sulawesi, involving 35 farmers and analyzed using SWOT. The results showed that the internal strengths were good physical condition and quality of shallots, land area, use and availability of seeds, availability of organic fertilizers, farmer’s mastery of cultivation techniques and experience. Weaknesses were shallot production still low, lack of farmer capital, availability of inorganic fertilizers, lack of labor, and not appropriate input usage. Opportunities were shallot production, shallot demands, average input prices and availability of inputs, support from Farmers' Group Association and government, selling prices and market access. Threats were the inadequate infrastructure and supporting facilities, the big traders' bargaining position, and the lack of agricultural extension ability. The strategy used was SO strategy strengths and opportunities, which is to take advantage of Farmers' Group Association support so that farmers get quality seed assistance, take advantage of government support in channeling capital, take advantage of average input prices and availability of inputs, take advantage of market NurasaDan DeriPusat PenelitianBogorMarketing institute is one of the important factor in horticulture agribusiness and one of the including the pledge commodity of is orange. This article aim to wish to know earnings of farmer and margin marketing of orange in Sub-Province of Karo . Result of analysis of farming show the existence of advantage in this commodity conducting, this matter isn't it from ratio of R/C to 2, 97. Acquirement of marketing margin between institutes of marketing in concerned tend to vary and lame. Acquirement of the marketing margin at modern market, retailer, interisland merchant, and merchant of mains market each of Rp / kg, Rp 900 / kg, Rp 350 /kg, and Rp /kg. Whereas acquirement of marketing margin at merchant of compiler of and countryside of perkoper equal to Rp 150 / kg and of Rp 125 /kg. Mount share farmer of orange to institute of marketing of modern market, retailer, merchant of mains market and interisland merchant each of 10%, 17, 14%, 24,0%, and 28,57%. While to institute of marketing of merchant of compiler of and countryside of perkoper equal to 80% and 72,73%. Economical, orange still profit. This advantage still improved potential corrected the production system of so that the productivity of can be improved. To be expected by this production process can improve quality and amount especially higher level super ordinate again so that have opportunity to access to market the broaderness, especially export. ABSTRAK Kelembagaan pemasaran adalah salah satu factor penting dalam agribisnis hortikultura dan salah satu komoditi yang menjanjikan adalah jeruk. Penelitian ini bertujuan mengetahui penerimaan petani dan marjin pemasaran jeruk di Kabupaten Karo. Hasil analisis usahatani menunjukkan adanya keuntungan dalam pengusahaan komoditi jeruk, ini didasarkan atas R/C=2,97. Kisaran Acquirement marjin pemasaran antara lembaga-lembaga pemasaran cenderung bervariasi dan timpang. Besaranya marjin pemasaran pada pasar modern, pengecer, pedagang antar pulau, dan pedagang pasar utama masing-masing Rp Rp 900/kg, Rp 350/kg, dan Rp Sedangkan besarnya marjin pemasaran pada pedagang pengumpul dan pedagang desa masing-masing sebesar Rp 150/kg dan Rp 125 /kg. Besarnya bagian petani farmer share jeruk pada lembaga pemasaran modern, pengecer, pedagang pasar utama dan pedagang antar pulau masing-masing 10%, 17,14%, 24,0%, and 28,57%. Sedangkan pada lembaga pemasaran pedagang pengumpul dan pedagang desa masing-masing sebesar 80% dan 72,73%. Secara ekonomi, jeruk masih menguntungkan. Keuntungan ini masih dapat ditingkatkan dengan memperbaiki sistem produksi, sehingga produktivitas dapat ditingkatkan. Diperkirakan dengan proses produksi ini dapat memperbaiki kualitas dan kuantitas, terutama pada tingkat lebih tinggi lagi, sehingga memiliki peluang mengakses pasar lebih luas, khususnya pasar luar negeri ekspor. Kata Kunci Usahatani, Marjin, Pemasaran, dan indeks harga konsumen/inflasi. Berita Resmi Statistik No 48/08/Th. XVI, 1 AgustusStatistik Badan PusatBadan Pusat Statistik. 2013. Perkembangan indeks harga konsumen/inflasi. Berita Resmi Statistik No 48/08/Th. XVI, 1 Agustus 2013. Jakarta ID Badan Pusat DarwisB IrawanC MuslimDarwis V, Irawan B, Muslim C. 2004. Keragaan Benih Hortikultura di Tingkat Produsen dan Konsumen Studi Kasus Bawang Merah, Cabai Merah, Kubis, dan Kentang. SOCA 42 1-18Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang MerahDepartemen PertanianDepartemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Bawang Merah. Jakarta ID Departemen Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan PetaniV Mayrowani H Dan DarwisMayrowani H dan Darwis V. 2010. Perspektif pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Di dalam Suradisastra K, Simatupang P, Hutabarat B, editor. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani; 2009 Okt 14;Status resistensi Spodoptera exigua Hubn. pada tanaman bawang merah asal Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal terhadap insektisida yang umum digunakan petani di daerah tersebutT K MoekasanR S BasukiMoekasan TK, Basuki RS. 2007. Status resistensi Spodoptera exigua Hubn. pada tanaman bawang merah asal Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal terhadap insektisida yang umum digunakan petani di daerah tersebut. J. Hort. 174343-354Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Mencari Alternatif Arah pengembangan Ekonomi RakyatR S NatawidjajaNatawidjaja 2007. dalam Suradisastra K, Yusdja Y, Hutabarat B, editor. Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Mencari Alternatif Arah pengembangan Ekonomi Rakyat. 2007 Desember 04;Pengujian beberapa klon bawang merah dataran tinggiS PutrasamedjaPutrasamedja S. 2010. Pengujian beberapa klon bawang merah dataran tinggi. Jurnal Pembangunan Pedesaan 102 teknologi bawang merah di luar musim tanam di Pandeglang BantenR PurbaY AstutiPurba R, Astuti Y. 2013. Paket teknologi bawang merah di luar musim tanam di Pandeglang Banten. AGRITECH 152 dan keuntungan usahatani empat varietas bawang merah di luar musim off -season di Kabupaten SerangR PurbaPurba R. 2014. Produksi dan keuntungan usahatani empat varietas bawang merah di luar musim off -season di Kabupaten Serang, Banten. Agriekonomika 31 55- 2 Analisa Usaha Budidaya Tomat Budidaya tomat secara sepintas bagi masyarakat kota mungkin adalah usaha yang kurang menjanjikan, tidak hanya tomat tapi usaha tani lainnya seperti cabe, kol/ kubis, kentang, bawang merah akan terlihat sebagai usaha yang merepotkan dan usaha kaum menengah kebawah di mata sebahagian orang.